dua

1.3K 93 3
                                    

                   

ARGA

Arga berulang kali mengumpat dalam hati sambil berlari dari tempat parkir sepeda motor ke lobby sekolah. Sial, sial. Padahal ia ingat ia sudah menyetel alarm untuk membangunkannya tepat jam 5 pagi. Tapi, pagi itu, semesta seperti membiarkannya terlelap. Ia memasuki lobby dan menemukan guru piket dan seorang siswi.

Untung ada temen, batinnya. Karena, jika ia dihukum dengan cara berdiri di tengah lapangan, atau membersihkan toilet, ia memiliki seorang teman. Yang bisa dimintai tolong, atau syukur-syukur, diminta menjalankan hukumannya.

"Kamu juga telat?" Bu Erna, guru piket hari itu, mendelik sebal ke arah Arga.

Yang dibentak hanya melemparkan cengiran kuda. Sudah ke berapa kalinya ya ia dibentak begini oleh Bu Erna? Sekali? Dua kali? Atau tujuh kali ya? Ah, Arga lupa.

"Apa tadi alasan kamu?" Bu Erna kembali menyelidiki siswi di depannya. Arga memutuskan mengalihkan pandangan, toh tidak ada apapun untuk dilihat, siswi-siswi yang modelnya seperti anak didepannya ini palingan memiliki nyali sebesar biji anggur. Tidak ada seru-serunya untuk ditonton.

"Maaf, Bu, saya lupa—"

"LUPA HARI INI SEKOLAH? LAH BAGAIMANA SIH?" potong Bu Erna cepat. Suaranya mendadak naik 2 oktaf.

Arga, menyembunyikan senyumnya. Bloon, batinnya. Mau bohong tapi nggak bermodal.

"Ya sudah, ya sudah. Kalian berdua tunggu disini. Nggak boleh ikut pelajaran sampai jam ketiga."

Hati Arga menyorak kegirangan. Pasalnya, jam pertama dan kedua ini adalah jam pelajaran Biologi, dan ia sama sekali tidak siap untuk ulangan. Siap contekan, maksudnya.

"Eh, cewek," Arga melepaskan tawanya yang tadi sempat ia tahan. "Oon banget sih. Alesan apaan coba lupa sekolah? Nenek-nenek sampoan lo kasih alesan begitu juga nggak bakal percaya." Arga masih tertawa.

Yang dipanggil hanya menghela napas. "Oh, lo ngomong sama gue?'

Arga menghentikan tawanya. Songong banget ini tusuk cilok. "Iyalah. Sama siapa lagi? Taneman di belakang lo?"

"Lagian, sok tau banget. Siapa bilang gue lupa sekolah. Si ibu aja tuh asal motong omongan orang. Dikira sunat apa dipot—"

"Emang sebenernya lupa apaan?" Arga tiba-tiba tertarik dengan obrolannya bersama siswi itu.

"Lupa kalo hari ini pacar gue nggak bisa nganter ke sekolah. Gue tungguin. Terus, baru inget deh."

Arga manggut-manggut. "Eh, kenalan dong. Kelas berapa lo?"

"11 IPA 2. Senja." Cewek itu menyahut.

Arga memerhatikan Senja dari atas ke bawah, matanya seperti sedang melakukan scanning. "Oh, jadi elo yang namanya Senja? Dulu waktu kelas 10, sempet terkenal lo. Gara-gara ditaksir kakak kelas yang sekarang homo itu ya?"

Senja mencebik sebal. "Hm. Iya."

"Gue Arga." Arga menyunggingkan senyum terbaiknya.

"Nggak pengen tau."

"Ah masa iya?"

"Iya."

"Kapan lagi diajak kenalan sama cowok ganteng 11 IPA 6?"

Senja, yang sedari tadi tidak melihat orang yang mengajaknya ngobrol, kini melirik cowok itu. "Bisa diem nggak?"

"Nggak, lah."

Senja menghela napas. Dalam hati, merutuk waktu yang sepertinya kian lama berputar makin lambat.

***

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang