delapan belas

785 60 2
                                    

ARGA

"Kenapa, Al?" Arga melihat seklilingnya. Tempat yang dulu selalu menjadi favoritnya kini sudah berubah, menjadi tempat yang tidak terawat. Taman kecil dekat komplek rumah Alda, yang dulu menjadi tempat kencan favorit mereka, kini terlihat kumuh. Rumput liar tumbuh disana-sini. Ayunan di ujung taman juga sudah berkarat, dan jika terkena hembusan angin, terdengar suara deritan dari besi yang seakan menjerit.

"Inget tempat ini nggak?"
Arga mengangguk. Menatap Alda yang mulai berjalan mengelilingi taman.

"Tempat ini masih jadi favorit gue."

"Sama cowok lo?"

Alda mengangguk. "Gue jahat banget ya, Ga?"
"Jahat gimana?"
"Gue ninggalin lo. Karena gu emasih sayang sama Dani. Dan, begitu gue mau balik ke Dani, dia nolak gue mentah-mentah. Harusnya gue nyadar lebih awal, nyia-nyiain lo, orang yang udah mau sayang sama gue, itu hal yang bodoh. Itu sesuatu yang sangat gue sesali sampai sekarang."

Arga bungkam. Tidak tahu harus berkata apa. Angin sore mulai menyusup ke kaus hitam tipisnya. Memberi sensasi gigilan dan dingin.

"Kalau," suara Alda tercekat. "Gue minta satu kesempatan lagi buat sama lo, lo mau, Ga?"

***

SENJA

Tidak ada yang bisa menghibur Senja lebih baik daripada Alvin, atau anak didiknya di daycare. Atau juga pasien Ibu Arga yang kerap memanggilnya 'Calon Menantu Dr. Sofia'. Sudah hampir 3 bulan, dan ia tidak pernah bertemu Arga lagi. Cowok itu seakan hilang dari kehidupannya. Menguap secara tiba-tiba, bahkan saat ujian akhir, Senja sama sekali tidak melihat cowok itu. Minggu depan adalah liburan kenaikan kelas, seakan bisa membaca masa depan, Senja yakin ia tidak akan bertemu Arga.

"Kak Enja, kak Arga kemana sih?" Alvin mengambil jeruk yang sudah dikupas Senja dan mulai memakannya. "Hok ngghak hernah ke hini?"

Senja tersenyum kecil. "Sibuk, dek. Kak Arga lagi banyak urusan."

"KAK ARGA NEMU ADEK BARU YA?!" tiba-tiba, Alvin menjerit. Membuat Senja terlonjak kaget.

"Nggak. Nggak." Senja menjawab cepat. "Nggak mungkin lah. Kak Arga lagi kerja, bantuin ayah Kak Arga. Bantu cari duit, biar Kak Arga bisa beliin mainan lagi buat Alvin."

Alvin manggut-manggut. "Oh, bukan adek baru."

Iya, nemunya calon pacar baru. Senja tersenyum.

"Kak Enja sayang sama kak Arga nggak?"

"Eh, hah?" Senja mengerutkan dahi. "Iya, sayang. Kenapa nanya gitu?" Senja kembali mengupas jeruk.

"Kalau Kak Enja sayang Kak Arga, berarti Alvin sayang Icha."

"Icha?"

"Iya. Kemarin dia ikut main di sini, terus kita berdua main puzzle."

"Terus, kok bisa sayang?"

Alvin terkekeh kecil. Pipinya menunjukkan semburat merah. "Kata Kak Arga, kalau ada cewek cantik, harus disayang."

Tawa Senja meledak. Ia mengelus kepala Alvin, mulai membayangkan tingkahnya saat SMA nanti. Diam-diam berterima kasih kepada Arga, yang sudah mengajarkan Alvin untuk menghargai perempuan. Untuk melindungi, dan bukannya menyakiti. "Alvin, kalau besar nanti, jangan kasar ya sama perempuan. Nggak boleh."

"Hehe. He'eh." Alvin mengunyah jeruknya kembali.

***

Senja menghela napas panjang. Menunggu itu sungguh melelahkan, dan juga membosankan. Semenjak mendapat telepon bahwa ayahnya kecelakaan, Senja mulai sering membolos kerja, dan bahkan meningalkan jam pelajaran jika jamkos. Ia lebih sering kesini. Menjenguk dan menunggu ayahnya. Ia menunggu keluarga baru ayahnya, yang tak kunjung datang.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang