sepuluh

1K 80 1
                                    

ARGA

"Ga, lo berubah." Rama mencetus secara tiba-tiba. Mereka berdua sedang berada di tempat les, duduk di pojok belakang, sambil sekali-kali mendengarkan penjelasan tutor jika tertarik.

"Jadi lebih ganteng?" Arga mulai mencatat rumus-rumus di papan. "Thanks."

"Jadi lebih...fresh. Lebih ceria, gitu. Lo sekarang basket lagi kan? Lo juga bawa mobil lagi, lo mulai ceria lagi ke semua orang. Kenapa gitu?"

Arga tersenyum. "Gue nggak tau. Apa mungkin gara-gara Senja?"

"Dia yang bikin lo berubah begini? Bisa gitu?"

"Seneng aja bawaannya kalo kepikiran Senja, tiap sekolah pikiran gue cuma 'ntar pulang sekolah anter Senja ke klinik' atau 'besok pulang dari daycare minta temenin Senja cari kado ah' intinya apapun yang berhubungan sama Senja, semuanya bikin gue seneng, Ram."

Rama manggut-manggut. "Ajaib dong, ya?"

Arga masih mencatat.
"Lo masih kebayang Alda kalo sama dia?"

"Nggak lagi. Ternyata dia beda dari Alda. Senja lebih... nyenengin. Dia bisa nyenengin gue kalo ngobrol. Beda sama Alda yang harus gue mulu yang mulai percakapan."

"Ga..."

"Hm?"

"Mau lo pacarin emang?"

Arga berhenti mencatat. Seketika menatap papan tulis, tetapi pikirannya mengalir keluar. "Nggak tau, gue belum siap putus, Ram. Gue nggak mau pacaran, guenya terlalu sayang, terus waktu putus, guenya yang ancur sendiri."

"Tapi, kalo lo jalanin gini-gini aja, ada kemungkinan dia bakal digandeng orang lain, Ga. Rela lo?"

Arga berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan simple dari Rama, tetapi tidak ada yang keluar dari bibirnya. Rama juga berhenti bertanya lebih jauh.

***

SENJA

Senja merekatkan erat-erat uang di dalam amplop putih yang sudah lusuh karena terlalu banyak digenggam. Sepersepuluh isinya masuk ke dalam box kecil di bagian belakang lemari Senja, sisanya tetap di amplop. Begitu yang selalu ia lakukan setiap ia mendapat gaji dari Daycare atau klinik. Uang-uang di dalam box ia gunakan untuk dirinya sendiri, untuk membeli sepatu yang sudah kesempitan, membeli perlengkapan mandi, dan alat-alat pribadi lainnya. Sisanya, ia gunakan untuk membayar tagihan listrik, tagihan air, makanannya dan ibunya.

Rinjani belum pernah berbicara lagi dengan Senja. Sebenarnya, sesak hati Senja menatap ibunya yang pura-pura tidak melihat Senja yang akan berpamitan ke sekolah. Atau, ketika ibunya tidak mau mengambil rapornya, dan Senja harus beralasan bahwa ibunya pergi ke luar kota. Rasa menyesalnya dari pagi itu masih memberati pundak Senja.

***

"Ma?" Senja mengetuk pintu kamar Rinjani.

Sekali,

Dua kali,

Sekali lagi,

Senja menghela napas, kemudian memegang gagang pintu dan bersiap untuk mendorongnya jika saja pintunya terkunci. Mungkin bahunya akan sakit sedikit ketika ia mendobrak pintu, tetapi, ya sudah lah. Peduli apa dia.

Ternyata, pintunya tidak terkunci, dan Senja dibuat melongo menatap ibunya terduduk di atas kasur. Mata sembab dan rambut awut-awutan, tatapannya kosong.

Senja bergerak perlahan.

"Ma?" bisiknya lirih. "Mama?"

Tidak ada jawaban.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang