dua puluh lima

1K 71 5
                                    

a/n:

eh sampai juga di chapter terakhir :) 

cerita ini makan waktu setahun kayaknya, ya? nggak tahu juga. yang penting, Arga sama Senja sudah jadi bagian penting dalam hidup saya. mereka sudah seperti teman yang kisah cintanya suka bikin saya gregetan. padahal saya sendiri yang nulis ceritanya..........

saya harap yang baca juga berpikir demikian. terima kasih buat yang sudah mengapresiasi, it means a lot to me! :D

see you on my next story?

-a

ARGA

"Ah, gila, yang nilainya biasanya paling rendah, malah sekarang kuliahnya paling heboh." Indra berceletuk. Pemilik buku matematika yang kerap dicontek Arga.

Adit tertawa. "Faktor luck doang dia mah."
"Enak aja." Arga menepuk bahu Adit. "Universitas bagus itu carinya potensi, bro, bukan cuma angka."

"Tuh kan, kuliah juga belum, ngomong udah sok tinggi." Rogan bergerak, dengan gestur seakan berencana untuk mematahkan leher Arga dalam sekali sentuhan.

Arga tertawa lepas. "Bakal nemu yang kayak kalian gini nggak ya..."
"Nggak bakal."

"Nggak." Rogan menggeleng. "Mana ada yang mau temenan sama lo."

"Pokoknya, sukses terus lah, Ga." Indra menepuk bahu Arga. "Oh iya, Skype gue aktif terus kok. Kalau lo ada temen bule dan mau dikenalin ke gue, jangan sungkan-sungkan ya."

Arga menjitak kepala siswa kesayangan Bu Eni, guru matematika. "Yee.. Kambing congek."

Dan percakapan mereka terus mengalir, membawa cerita-cerita lama dalam untaian kata, membahas memori-memori yang sepertinya akan susah dilepaskan dari kepala. Mulai dari kisah Arga yang membangkang waktu MOS, Indra yang menangis ketika ujian matematikanya mendapat nilai 60 walaupun satu kelas tidak ada yang bisa mencapai nilai 30, Rogan yang ketahuan merokok di tempat parkir dan dihukum dengan diberi perintah untuk menceramahi setiap guru perokok, dan Adit, yang pernah dekat dengan guru BK muda, entah hubungan itu masih berlanjut atau kandas ketika guru tersebut mengumumkan dirinya akan bertunangan.

Sesekali, mata Arga menelusuri isi hall itu. Sesungguhnya, pikirannya tidak tahu, mengapa matanya terus saja berusaha mencari, tetapi, hatinya tahu, ada satu orang yang sangat ingin ia temui hari ini. Orang yang telah lama hilang dari hidup Arga, tetapi tempatnya masih berbekas di hatinya. Tempat yang kosong, dan sepertinya akan selalu ada.

"Ga?"

Arga sontak menoleh. "Apaan?"

"Kita duluan ya. Mau cabut. Ikut nggak?"

"Ikut deh." Arga mengangguk. Sebelum berjalan mengikuti teman-temannya, mata Arga menangkap sosok itu. Netranya menangkap Senja, dalam balutan kebaya berwarna peach. Seperti warna jingga yang lembut, seperti warna langit sore malu-malu yang masih bergumbul dengan awan. Seperti... Senja. Arga baru menyadari betapa rindunya dirinya dengan cewek itu, ketika ia melihat Senja menumpukan kepala ke tangannya. Apa yang menjadi beban di pikirannya, Arga tidak tahu. Yang jelas, dirinya pasti akan ditendang jauh-jauh jika ia mencoba mendekat.

Dengan satu helaan napas yang berat dan menyakitkan, kaki Arga melangkah keluar dari hall tersebut.

***

SENJA

Tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain berbaring di atas tempat tidur, dengan jari yang lihai menari di atas layar ponselnya. Senja sedang membuka galeri fotonya. Menatap satu-persatu foto yang ia ambil bersama Arga. Setiap foto mengandung satu cerita. Dan malam itu, malam setelah wisuda, Senja hanya ingin merasakan kehadiran Arga lagi.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang