empat belas

913 69 0
                                    

SENJA

Senja sedang termangu di pintu kelasnya sambil melihat anak kelas sepuluh—yang berjumlah kira-kira 5 orang—masing-masing membawa buket bunga dan berebutan menyerahkan bunga itu padanya. Bagaimana tidak? Bagi Senja, dilirik saja sudah untung-untungan. Eh, ini malah berebutan memberinya buket. Bunga asli, lagi.

"Kak, ambil punya saya aja kak." Si anak 1 berbicara dengan mata memohon. Membuat Senja jadi gemas.

"Jangan, Kak. Ini, bunga saya." Anak 2 ikut-ikutan menyorotkan permohonan di matanya.

"Lo-lo ini pada disuruh siapa?" Senja bertanya sambil mengira-ngira.

"Anu, A—" anak 4 mulai berkata, yang segera dipotong oleh anak 2, "nggak. Nggak disuruh siapa-siapa. Ini, dari kita sendiri kok."

"Dari siapa?" Senja bertanya lagi. Nadanya lebih datar daripada yang pertama kali ia ucapkan.

Mereka berlima, diam sebentar. Menatap satu sama lain, seperti berunding tanpa kata. Berbagi pikiran tanpa ucapan.

"Dari Kak Arga." Anak 4 menjawab. Dengan anggukan dari teman-temannya.

Senja mendengus sebal. Ia memutar otak, mencoba mencari cara tentang apa yang harus dilakukannya terhadap bunga-bunga itu. "Lo semua sekarang balik ke Arga. Bilang, Senja lebih suka kwetiau. Senja bukan Suzana yang bisa makan kembang. Gih," Senja berkata dengan napas yang memburu. Mencoba tidak melampiaskan amarahnya terhadap bocah-bocah lugu di hadapannya ini.

Kenapa ia marah? Bagaimana tidak, Arga baru saja membeli 5 buket bunga, dan meminta anak kelas sepuluh yang tidak tahu apa-apa untuk memberikan bunga itu padanya. Ia baru saja memanfaatkan orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang harusnya ia lakukan sendiri. Tapi, mau tak mau, Senja menganggap hal itu lucu. Meskipun begitu, otaknya tidak mau berkompromi. Baru sebagian kecil hatinya saja.

Kalau Arga begini terus, bisa-bisa hati Senja luluh lagi.

***

"Lagi ada masalah ya, Ja?" Disa tiba-tiba bertanya. Mengejutkan Senja hingga ia hampir saja menjatuhkan bolpoinnya. "Masalah sama Arga?"

"Dis."

"Hmm?"

"Menurut lo," Senja mengalihkan pandangan dari buku-buku di hadapannya ke Disa. "Kalau gue suka sama Arga gitu. Wajar, nggak?"

Disa sontak menoleh. Menahan senyum. "Ya, wajar. Arga kan ganteng, lucu, baik, ganteng."

Senja ingin tertawa mendengar sahabatnya yang satu ini mengucapkan kata 'ganteng' 2 kali. Seakan-akan, Arga seganteng itu.

"Lo suka sama Arga?"

"Nggak."

"Beneran?"
"Iya lah."
"Naksir nggak?"

"Dis." Senja menghembuskan napas lelah. "Gimana ya jelasinnya.."

"Apaan sih?" Disa menatap Senja. Binar penasaran dalam matanya terpancar jelas. "Cerita dong."
Senja mempernyaman posisi duduknya di kursi tua perpustakaan. Tempat anak-anak biasa nongkrong jika tidak ada jam pelajaran. Ini sudah jam ke 9, dan guru PKn mereka memutuskan untuk pulang cepat. Maklum, istri mudanya sedang hamil.

"Arga itu dulu playboy nggak sih?"

"Playboy itu kayak..."

"Suka modus sama banyak cewek gitu. Gombal-gombal ke cewek A, terus bosen, akhirnya nganter cewek B pulang, bosen lagi, ngajak cewek C nonton, dan seterusnya."

"Hm.." Disa mengerutkan kening. Mengingat gossip-gossip yang sempat ia curi dengar. "Nggak. Nggak pernah. Dia tuh cuma pernah sama mantannya yang waktu kelas sepu—"

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang