enam belas

836 58 2
                                    

ARGA

"Senja?" Arga menggoyang-goyangkan telapak tangannya di hadapan muka Senja. Pasalnya, cewek itu sama sekali tidak memberi perhatian kepada makanan ataupun lawan makannya.

Arga menghela napas ketika Senja masih tetap melihat kosong ke arah asap yang mengepul dari gerobak sate di seberang mereka.

"Ja?"

Masih tidak ada jawaban.

Arga menimbang-nimbang selama sepersekian detik sebelum mengambil langkah nekat. Ia mengulurkan tangannya menarik hidung Senja.

Senja mengaduh.

"Apa sih?" sergahnya sebal. Terlihat dari raut wajahnya yang mengerut.

"Kamu kenapa?"

"Nggak kenapa-napa, kok."

"Kalau calon pacarnya di depan mata, tapi yang dilihat malah asap sate, jelas kenapa-napa itu sih."

Senja menghela napas.

"Kalau tadinya semangat banget minta makan nasi goreng, begitu ada sekarang malah lihatin asap sate, jelas kenapa-napa."

Senja mengaduk nasi gorengnya, yang sudah ia lakukan kira-kira enam puluh tiga kali. Itu menurut perhitungan Arga.

"Ka—"

"Udah, Arga. Ini aku ngeliatin kamu, deh. Mau disuapin acar juga?" Senja meraih mangkuk acar di antara mereka. "Sini, buka mulutnya."

Arga tertawa. "Udah ah, itu buruan dimakan nasinya. Abangnya sewot kita lama banget makannya. Ngehalangin yang lain."

***

SENJA

Senja berusaha mengatur detak jantungnya. Mobil Arga semakin lama semakin dekat dengan rumahnya, dan tidak ada satu hal pun yang dapat membantu menghentikan aliran darahnya yang kian lama kian cepat. Terasa mendesir di bawah permukaan kulitnya. Senja baru sadar ia menahan napasnya ketika mobil Arga sudah mencapai depan rumahnya. Tidak ada mobil Ron terparkir di depannya. Senja menghela nafas lega.

"Kenapa, Ja?"

"Hm?"

"Kenapa kok nafasnya berat gitu?"

"Nggak papa. Aku masuk, ya. Makasih, Arga." Ia buru-buru membuka pintu mobil dan menjejakkan kakinya keluar. Melangkahkan kaki terlalu cepat ke pintu pagar. Tangannya bergetar saat membuka gembok. Pagar murah yang sudah berkarat di sana-sini dan sepertinya tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi, terasa lebih berat dalam genggamannya. Ia merasa gugup karena ia tahu Arga sedang memandanginya dari balik kaca mobil.

Senja melempar senyum sebelum masuk ke rumah.

"Ma?"

"Iyaaa?" jawab Rinjani dari dapur. Senja meletakkan tasnya di depan pintu kamarnya, lalu berjalan ke dapur.

"Mama ngapain?"

"Ini. Ngebumbuin ayam."

"Buat siapa?" ayah Senja selalu suka ayam goreng.

"Ron."

Lutut Senja terasa lemas, ia segera menyandarkan tangan ke meja makan, takut-takut dirinya akan jatuh.

"Oh." Senja akhirnya berucap. "Tadi kesini?"

"Iya. Nungguin kamu lama banget. Nggak pulang-pulang. Dia nunggu sampai 2 jam lebih. Nemenin Mama ngupas bawang. Kangen ayam goreng yang selalu Senja bawain, katanya." Rinjani sibuk memotong dan menggilas halus bumbu masakannya. "Kok Ron nggak pernah kesini lagi?"

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang