enam

1.1K 82 0
                                    




SENJA

Hari itu, Senja seakan mendapat suntikan semangat yang berbeda untuk datang ke sekolah. Entah, rasanya ia terpacu untuk loncat dari tempat tidurnya dan melakukan marathon ke sekolah yang jaraknya hampir 5 kilometer. Ia bahkan rela duduk bersempit-sempitan di angkot dengan ibu-ibu pedagang sayur yang dengan hebohnya mengobrolkan harga cabe yang sedang melambung. Maklum, jam masih menunjukkan setengah 6.

Ketika menjejakkan kaki di sekolah, Senja disambut sapaan Pak Bon.

"Neng, pagi bener?"

"Hehehe, iya, Pak. Takut telat."

"Aduh, si eneng, teh, kalo udah senyum.."

Senja tersenyum lembut. "Iya udah. Senja masuk ya, Pak?"

"Sok atuh."

Senja melangkah masuk, dan langsung berjalan ke kelasnya. Tentu saja, kelasnya masih kosong melompong. Ia duduk di bangkunya, lalu menjatuhkan kepala, dan bersiap untuk tidur.

***

"Ja, lo dicariin tuh." Disa menyenggol lengan Senja yang sedang asik membaca novelnya.

"Hmmm?"

"Dicariin itu. Di depan pintu." Disa menunjuk-nunjuk seseorang di depan pintu dengan dagunya, tetapi nampaknya, Senja tidak memberikan secuil perhatian pun.

"Siapa sih?" Senja, yang mulai kesal, karena konsentrasi nya dikacaukan oleh ocehan Disa, menoleh.

"Dicariin Arga. Katanya penting."

Senja membelalakkan matanya sekejap lalu seketika bangkit berdiri. "Ya udah. Makasih, Dis."

"EH, SENJA! LO MAU NGAPAIN?"

Teriakan Disa sama sekali tidak dihiraukan oleh Senja. Ia tetap berjalan keluar kelas dan menemukan Arga bersandar di daun pintu kelasnya.

"Hai.." sapa Senja. Terdengar kaku memang. Seperti kawat yang sekarang terasa melilit tenggorokannya.

"Hai, Ja. Gue mau ngomongin tentang kerjaan yang kemaren gue bilangin."

Senja menatap Arga. Menunggu cowok itu melanjutkan kalimatnya.

"Kayaknya nggak enak ya ngomong sambil berdiri-berdiri gini? Duduk di situ mau?" mata Arga menunjuk pinggir koridor. Senja mengangguk, karena, sebetulnya, kakinya sudah terasa pegal.

"Jadi, gini, Ja, lo kerja di klinik nyokap gue. Mau nggak?"

"Nyokap lo punya klinik?"

Arga mengangguk.

"Klinik umum gitu?"

"Bukan. Poli gigi. Nyokap gue dokter gigi." Arga menautkan jemarinya, yang ketika Senja amati, terlihat sangat kurus dan panjang. Mau tak mau, Senja merasa gemas dengan tangan Arga."Iya, emang sih, nggak ada anak-anaknya sama sekali. Malah kebanyakan kakek-kakek gitu yang dateng. Tapi, ya, buat nambah uang jajan lo dulu kan, sementara. Ntar kita nyari lagi."

Senja akan mengangguk, atau melontarkan sepotong kata iya. Tetapi, mendengar Arga menyebut kata 'kita' membungkamnya. Sejak kapan mereka berdua berubah menjadi 'kita'?

Ah, ngapain diributin, ngarep lo. Senja menebas pikiran tersebut jauh-jauh.

"Eh, Iya, Ga. Yaudah, ntar lo kasih alamatnya aja. Gue kapan mulainya? Hari ini? Besok?"

"Nanti aja pulang sekolah gue anterin."

Senja baru saja akan menolak, tetapi, bel masuk memotong obrolan mereka. Arga bangkit berdiri, lalu tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan Senja. Ketika Senja masuk ke kelas, teman-temannya melemparkan tatapan aneh bercampur bingung.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang