lima belas

990 69 0
                                    

 SENJA

Senja sudah bosan dengan petuah-petuah yang diberikan Disa tentang masalah asmaranya. Tiap hari, sahabatnya satu itu tidak pernah lupa mengingatkan bahwa 'kalau masalah cinta, ego itu dikesampingkan.' Atau 'gengsi lo tuh besar banget sih, Ja. Udah kayak tembok Cina.' Bahkan, saat meminta jawaban waktu ulangan, selalu ada catatan kaki di bawah kertas yang diberikan Disa.

Seperti 3 hari yang lalu, dibawah tulisan 13 A, 16 C, Disa menggambar kotak kecil dengan tulisan: "itu cowoknya jangan dipaksa berjuang terus. Lo bilang lo nggak mau jatuh cinta sendirian. kenapa sekarang lo yang bikin dia berjuang sendirian?" kalimat-kalimat tadi berhasil membuat konsentrasi Senja pecah saat ulangan Sejarah.

"Kamu itu masih tetap sama."

Senja mendongak dari mangkuk serealnya, baru sadar sedari tadi ibunya memperhatikan. "Apa, Ma?"

"Kamu itu masih sama." Rinjani menggelengkan kepala sambil memasukkan gula ke dalam teh. "Kamu masih susah memaafkan orang lain. Kamu selalu menomor satukan ego kamu. Nanti, begitu kamu sadar apa yang kamu lakukan itu salah, kamu putus asa dan nangis," ibunya tersenyum samar sambil mengaduk teh dengan asap halus mengepul ke atas. "Persis kayak Papa kamu."

Senja terdiam. ibunya sama sekali tidak membahas tentang ayahnya beberapa minggu belakangan ini. Ini pertama kalinya semenjak, semenjak—yah, tahulah.

"Menurut cerita yang Mama dengar—"

"Curi dengar." Senja mengoreksi. "Nguping," ia tersenyum.

"Iya deh, itu. dari cara ngomongnya cowok itu, siapa namanya, Raga?"

"Arga, Ma."

"Iya itu, dia itu tulus." Rinjani berdiri dari kursi makan lalu berjalan menuju kulkas dan membuka pintunya. "Kamu udah kelas 2 SMA, Senja. Mama nggak bakal ikut campur, kamu bisa membuat keputusan kamu sendiri. Pikirkan matang-matang, jangan menyesal kemudian."

Senja menghela napas panjang sebelum menyendokkan sereal ke dalam mulutnya.

***

ARGA

"Dia bilang apa?" Arga membelalakkan matanya tidak percaya. Baru pertama kali ini, pemberiannya kepada seorang cewek ditolak. Ia tidak mempermasalahkan uang yang ia habiskan untuk membeli hadiah itu—yang omong-omong sangat banyak—tapi, rasanya seperti dihempaskan dari atap sekolah. Ini pertama kalinya...

"Katanya, kak Senja nggak suka bunga. Sukanya kwetiau. Terus kita disuruh balikin bunga ini." Andi menyerahkan buket bunga yang tadi ditolak Senja mentah-mentah.

"Sukanya kwetiau?"
"Iya." Viro mengangguk. "Terus, bunganya kita apain nih, Kak?"

Arga menggeleng. "Lo ambil aja deh. Kasih buat pacar lo apa gimana."

"Serius?" Farhan yang sedari tadi diam karena takut dimarahi kakak kelasnya, kini mulai semangat.

"Yee, giliran dapet bonus aja lo." Viro menoyor kepala teman sekelasnya.

"Eh, lo pada tau nggak tempat jual kwetiau yang buka jam segini?"

"Tempat seafood banyak kali, Kak. Deket sini juga ada."

"Yang enak."
"Oh, kalo mau yang enak, agak jauh sih." Farhan mengerutkan kening, mencoba mengingat dimana ia terakhir kali mengajak pacarnya kencan makan kwetiau.

"Nggak peduli jarak, gue mah." Arga bangkit berdiri. "Han, sms in ke gue ya alamatnya dimana."
Farhan mengangguk.

"Lo jamin enak kan?" Arga meraup kunci mobilnya dari atas bangku. Meng-sms Rama untuk bilang bahwa ia akan bolos jam pelajaran ke 6—6 sampai 8 sebenarnya—kemudian berjalan keluar kelas.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang