ELEVEN

275 39 4
                                    

Jean's POV.

Aku bisa merasakan jari-jari tangan kanan ku terasa perih dan panas, akibat latihan bermain pedang tadi siang.

Harry mengatakan bahwa aku ceroboh dan tidak bisa mengendalikan pikiranku.

Sejenak aku termenung memikirkan semua ucapan Harry.

"Bagaimana bisa kau menjadi lebih jika seperti ini saja kau tidak sanggup? berhenti menangis dan jalani saja semuanya! kau terlalu lemah, Jean."

Aku memejamkan mataku sejenak. Mataku terasa panas. Kemudian pikiranku melayang ke kejadian beberapa tahun silam.

Aku memasuki rumah dengan keadaan kacau, benar-benar kacau. Mataku sembab dan terdapat bekas tamparan di pipi kiriku.

Nathan, kakak-ku langsung menghampiriku dan memelukku, "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil terus memelukku.

Tanpa menjawab, aku balas memeluknya dan menangis sejadi-jadinya.

Nathan mengusap rambutku, "Sudahlah, Jean. Jangan menangis. Kau tahu aku benci melihatmu menangis." bujuk Nathan untuk memberhentikan tangisku.

Aku sedikit melonggarkan pelukanku, "Apa aku terlalu cengeng?" tanyaku.

Nathan menatapku dalam dan berkata, "Kau sering menangis bukan berarti kau cengeng. Menangis hanya akan membuatmu lebih kuat, namun tidak dengan menangis secara terus menerus."

Tidak ada yang dapat mengertiku seperti Nathan. Dan semenjak itu, aku jadi jarang menangis. Bahkan tidak pernah. Karena Nathan yang selalu menyemangatiku dikala aku sedih.

Tapi semuanya hancur. Tiba-tiba saja Nathan menghilang. Aku masih ingat ketika menangis mengetahui Nathan tidak lagi berada di rumah.

Aku juga masih ingat ketika polisi memberhentikan kasus hilangnya Nathan, karena mereka beranggapan bisa saja Nathan sudah meninggal tanpa di ketahhi.

Menghilangnya Nathan, seperti aku merasakan hilangnya sebagian diriku. Tidak ada lagi penyemangatku, tidak ada lagi penasihatku.

Dan aku kembali pada diriku yang semula. Cengeng, lemah, tidak percaya diri dan emosiku yang kadang tidak stabil. Semuanya terjadi begitu cepat.

Tapi, aku juga merasakan sesuatu yang berbeda semenjak aku tiba di rumah ini. Walaupun Harry yang selalu membentakku dan meneriakiku, aku merasa nyaman. Kata-kata Harry hampir seperti Nathan, dengan sedikit perbedaan bahasa.

"Memikirkanku, ya?"

Refleks, aku menoleh ke asal suara. Tersenyum kecil, "Kau terlalu percaya diri, Niall."

Niall juga tersenyum dan duduk di sebelahku, "Bagaimana tanganmu? kudengar kau terluka, lagi?" tanya Niall sembari menekan kata terakhirnya itu.

Aku mengangguk pelan, "Sepertinya aku tidak akan bisa melewati ini dengan mudah."

Niall menepuk bahuku, "Semua itu butuh proses, jangan terlalu terburu-buru." ujarnya.

"Aku tahu." jawabku pelan.

"Oh, dan, soal Harry. Kuharap kau tidak terlalu memikirkannya. Ia memang sedikit galak." ucap Niall, menyelipkan sedikit humor di ucapannya.

Aku tertawa, "Aku mengerti itu."

Kemudian kami melemparkan beberapa lelucon. Ternyata Niall orang yang humoris.

Tak lama, Niall izin pamit karena harus ke kamarnya. Aku hanya mengiyakan sambil memperhatikannya berjalan menjauh.

Sepeninggalan Niall, aku kembali bergelut dengan pikiran dan otakku sendiri.

--

Author's POV.

Makan malam selesai dan semua orang membubarkan diri. Tetapi, kali ini berbeda. Mereka semua berkumpul di ruang tengah, tak terkecuali Jean.

Ia terheran ketika Des berkata ada sesuatu yang harus di bicarakan.

Semuanya, Harry, Liam, Billie, Des, Jamie dan juga Jamie. Stef dan Josh sudah tidak ada di rumah sejak lama.

Setelah semuanya berkumpul, Harry membuka ucapannya, "Kami semua, termasuk kau Jean, akan jarang berada di rumah saat ini. Kami semua akan sibuk kembali. Dan kau, juga akan seperti kami." ujar Harry membuat Jean bingung.

"Tapi, sepenglihatanku, kau belum berubah dengan baik. Kau masih saja ceroboh, membuat kesalahan, dan tidak belajar dari kesalahan.

"Besok hari terakhirmu di sini, dan hari terakhir untuk kita semua. Kau akan menghadapi evaluasi bersama kami semua. Jadi kuingin kau mempersiapkan dirimu." Harry terdiam sejenak.

Jean buru-buru angkat bicara, "Evaluasi seperti apa?"

"Menguji kemampuanmu." jawab Jamie cepat.

"Tapi, bukankah aku baru saja berlatih?" tanya Jean.

"Jean, berpikirlah! kau sudah berkali-kali menjalani latihan, namun tidak ada hasil yang baik. Aku tahu ini terlalu cepat untukmu, maka dari itu aku akan memberikanmu evaluasi." ujar Harry kembali.

Yang lain hanya terdiam. Tidak ada yang berani berbicara.

"Baiklah." kata Jean pelan.

Harry mengangguk, "Bagus. Kalau begitu, kau bisa kembali ke kamar." perintah Harry.

Jean mengangguk patuh, ia tidak ingin terkena masalah.

Sepeninggalan Jean, Billie angkat bicara, "Secepat itu?" tanya Billie.

Harry mengangguk, "Mungkin untuk hari pertama, ia tidak akan membutuhkan Jean di lapangan."

Menghela napas panjang, Jamie berkata, "Harry, siapa Yeager?"

--

Jean's POV.

Aku berjalan mondar-mandir di balkon, berusaha menetralkan perasaanku.

Aku benar-benar takut, ketika mendengar akan ada evaluasi.

Damnit. Aku belum terlalu handal untuk semuanya.

"Berpikir Jean, berpikir," gumam Jean. Ia menepuk dahinya terus menerus sambil kembali mondar-mandir.

"Ya!" Tiba-tiba saja Jean berteriak dan terlihat senyum lebar dari mulutnya, "Aku akan ke ruang latihan."

--

Jamie's POV.

Aku termenung memandangi pantulan diriku di cermin. Sedikit berantakan.

Sial!

Aku kembali mengacak-acak rambutku.

Hanya satu yang dapat membuatku menyalurkan semuanya, taekwondo.

Aku segera ke luar kamar dan berjalan menuju ruang latihan. Banyak lampu penerangan yang sudah dimatikan, mengingat ini sudah malam.

Tepat ketika aku sampai di depan ruang latihan, terdengar suara gaduh dari dalam. Aku mengernyit, apa ada latihan malam-malam?

Membuka pintu, aku tercengang melihat pemandangan di depan.

Itu Jean, tengah memukul-mukul tiang kayu di hadapannya. Sesekali ia berlari sambil menembaki papan dengan pistol.

Pada akhirnya, Jean menjatuhkan pistol-nya dan kedua tangannya menumpu pada lututnya. Ia kelelahan.

"Berlatih untuk evaluasi?"

Aku bisa melihat ia sedikit terlonjak sebelum memutar tubuhnya menghadapku.

"Jamie?" tanyanya bingung. "Sedang apa kau disini?"

Aku memiringkan kepalaku, "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu."

Jean menundukan kepalanya, "Aku.."

Aku menarik dagunya tepat ke depan wajahku, aku bisa merasakan nafas nya yang mengenai wajahku, "Biarkan aku melatihmu kali ini."

-

HAAIII
MAAF BANGET BARU BISA UPDATE, INI GILA GUE BANYAK MASALAH ARGGHHH HIDUP GUE BANYAK COBAAN

OKELAH ENJOY, TOLONG INI HANYA SEBUAH CERITA, JANGAN BAPER KALO CERITANYA JELEK:(

The OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang