THIRTEEN

163 31 11
                                    

Author's POV.

Jean menatap tangan kirinya yang diperban akibat terkena tusukan pedang milik Billie. Walaupun begitu, ia berhasil menjatuhkan pedang Billie.

"Jika tanganmu seperti itu, bagaimana kau akan melawan Jamie?" tanya Harry tiba-tiba membuat Jean sedikit tersentak.

Jean mengangkat bahu.

Harry menatapnya tajam, "Kau selalu menyusahkan, sudah kubilang serius! kenapa kau malah melamun tadi? untung saja Billie tidak menusukmu lebih dalam!" bentak Harry.

Jean yang merasa geram kemudian berdiri dan balik menatap Harry, "Kau tahu? aku bahkan tidak mengenalmu, Harry! aku secara tiba-tiba berada disini dan harus menguasai kemampuan kalian dalam waktu singkat. Kau pikir, aku dengan mudah melakukannya?"

Harry membulatkan matanya, merasa tidak percaya dengan respon Jean yang juga sama keras.

Napas Harry memburu, namun ia berusaha tenang. Setelah tenang, menarik tangan kanan Jean sehingga jarak mereka hanya beberapa centi.

Harry mendekatkan bibirnya ke telinga Jean dan berbisik, "Lakukan saja yang kuperintahkan." setelahnya, Harry melengang pergi meninggalkan Jean yang masih terdiam ditempat.

---

Jean mengambil napasnya secara perlahan dan mengetuk pintu yang ada dihadapannya. Setelah ketukan yang ke dua, pintu di buka, menampilkan sesosok laki-laki dengan rambut yang masih basah.

"Eh, Jean. Masuk," katanya mempersilakan. Jean tersenyum dan masuk ke kamar itu. Terdengar pintu yang di tutup dengan pelan.

Jean mengamati kamar itu. Kamar dengan dinding ber-cat putih, tidak ada yang aneh. Semuanya normal.

"So, what's wrong?"

Jean memutar tubuhnya menghadap Jamie, "Kenapa kau melakukan itu?"

Jamie mengerutkan kening, "Apa maksudmu?"

"Aku tahu bahwa kau hanya pura-pura kalah, Jamie. Kau membiarkanku menang. Kenapa?"

Jamie menatap perempuan yang ada di hadapannya, "Aku hanya tidak ingin kau kena marah Harry."

"Kenapa?"

Untuk sesaat, tidak ada yang berbicara. Hanya terdengar suara napas dari ke duanya.

"Dengar, Jean, aku hanya ingin kau berterimakasih karena sudah membiarkanmu menang. Dan, aku juga tidak ingin ada pertanyaan lain," Jamie membuka pintu kamarnya, "Kau bisa keluar sekarang."

--

Jeanny's POV.

Aku menatap sebuah foto lusuh yang sudah di simpan selama beberapa tahun ini. Sebuah foto lelaki yang baru saja menginjak umur 17 tahunnya. Aku meneteskan air mata, membasahi foto itu.

Nathan. Ia adalah saudara laki-lakiku. Entah apa yang kupikirkan sekarang, yang pasti aku merindukannya. Sangat sangat merindukannya. Jika saja aku berada disini bersamanya, mungkin tak sesulit ini.

Ah, tapi, tetap saja mereka akan menculikku tanpa Nathan. Tapi setidaknya, Nathan bisa melindungiku, bukan?

Aku rindu Nathan yang ada di sampingku ketika aku menangis bahkan karena hal-hal sepele seperti terjatuh, terkena minyak panas ketika memasak, atau tergores ujung kertas. Yang pasti, Nathan selalu ada di sampingku.

Aku masih ingat ketika Nathan pulang ke rumah dengan membawa sebuah boneka teddy bear yang sangat besar, hanya karena dia tahu aku sangat menginginkannya.

Tangisku semakin deras, aku tidak bisa menahannya. Aku terisak masih dengan foto Nathan di tanganku.

Lalu, tiba-tiba, sesuatu melingkar di pinggangku dan membuatku terkaget.

--

Harry's POV.

Aku merutuki semua yang terjadi hari ini. Aku baru saja berdebat dengan Jamie, mengenai pertarungannya dengan Jean.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?" tanyaku sarkas ketika Jamie memasuki ruanganku.

"Dengar, Harry, kau boleh menyiksaku atau memasukkan ku ke ruang bawah tanah saat ini. Tapi jangan pernah masukkan dia,"

Aku menggeleng, aku bisa merasakan bahwa mataku melebar dan rahangku mengeras, "Kau!"

Jamie tersenyum tipis, "Kau tahu persis kenapa aku melakukan ini, Harry."

Aku memijat pelipisku perlahan, berusaha tenang. Pembicaraannya dengan Jamie cukup membuat emosinya meledak.

Ini pertama kalinya, aku berdebat dengan Jamie. Sebelumnya, aku jarang sekali berbicara atau bahkan bertemu dengannya. Karena urusan masing-masing.

Tapi saat ini, secara tidak langsung membuatku harus bertemu dengannya, berbicara panjang-lebar, bahkan disaat aku tidak mau melakukannya.

Haus, aku memilih ke luar ruangan dan mencari minuman di dapur.

Tapi, tepat ketika melewati kamar Jean, aku mendengar sesuatu.

Seseorang yang tengah terisak.

Aku berhenti dan melihat ke arah pintunya. Pantas saja, pintunya tidak tertutup dan ada celah sedikit.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang tengah terisak. Walaupun ini kamar Jean, bisa saja ada orang lain menyelinap dan menangis disitu, bukan?

Aku memutuskan membuka pintu itu secara perlahan.

Benar. Itu Jean. Ia duduk di kasur nya membelakangiku. Bahunya naik turun dan kepalanya tertunduk. Dari situ, aku dapat dengan cepat mengetahui, bahwa ia sedang menangis.

Entah apa yang merasukiku, aku memilih berjalan mendekat, duduk di tepi kasurnya dan memeluknya dari belakang.

Bisa ku rasakan bahwa ia kaget dan sedikit menengang.

Sedagkan aku, tidak berkata apa-apa. Entahlah. Aku masih bingung apa yang harus kulakukan.

"Ha-harry?" bisa kudengar suaranya yang serak dan kepalanya sedikit memutar.

Aku melepas pelukanku, dan aku berpindah duduk. Aku duduk di hadapannya.

Tanpa bertanyapun, aku tahu, apa yang ia tangisi.

Di kegelapan malam, aku masih bisa melihat matanya yang mulai membengkak, hidungnya yang kemerahan dan pipinya basah.

"Sudahlah, tidak ada gunanya kau menangis,"

Jean sedikit mendongak, membuka mulutnya namun ia tidak berkata apa-apa.

"Lebih baik kau tidur, besok pagi kau masih harus training denganku walaupun evaluasimu sudah selesai." dengan itu, aku melangkahkan kakiku keluar dari kamarnya.

Sebelum aku menutup pintu kamarnya, aku masih bisa mendengar dirinya yang kembali terisak.

---

YEY JEARRY MOMENTSSSSSS!!!
AKHIRNYA GUE BERHASIL BIKIN JEARRY MOMENTS WAKAKAKAK. TAPI KENAPA GUE LBIH SUKA SAMA JAMEAN MOMENTS? AH SUDAHLAH.

OK VOTES COMMENTS YA SOALNYA GUE LIAT KAYANYA GA ADA YANG VOTES LAGI HUHUHU
MWA

The OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang