Bagian 4 : Satu Tahun

85 2 1
                                    

"Diam. Berjanjilah padaku takkan menceritakan kisah ini kepada siapapun. Aku mempercayaimu. Akan aku jadikan Dewi Bulan sebagai saksinya. Dengar. Ini adalah kisahku, yang mewarnai kehidupanku hingga saat ini. Percayalah, setiap takdir Tuhan pasti menggoreskan cerita indah bagi siapapun yang menjalankannya. Jadi, nikmatilah". - Cahaya Itu Masih Ada

*

Duduk dengan jutaan tanda tanya. Memandang sebuah benda yang biasa dipanggil laptop. Membuka beberapa jendela yang berisi informasi-informasi yang sepertinya... penting. Nama dan angka dikepalaku hanya membuat sakit sedari tadi. Tugas numpuk, sedangkan deadline semakin dekat. Lucunya, belum ada satu tugas pun yang aku selesaikan.

Arrrggghhh!

Padahal sudah satu tahun aku disini. Bersekolah di tempat yang bahkan gedungnya tak terlihat seperti sekolahan. Hanya ada banyak ruangan, dengan tangga yang melilit panjang di bagian tengah gedung.

"Nand, kalau punya masalah, bilang aja kali. Aku kan sodara kamu juga sekarang. Setahun loh kita sama-sama tinggal satu atap. Kamu jangan diam aja, kita selesaikan sama-sama,"

"Enggak semudah itu Fit, lagi pula kan, kamu tahu kalau kita lagi dikasih tugas segambreng. Mana deadline-nya cepet banget lagi. Ah, tambah kampret aja deh jadinya,"

"Yaaa tapi kan... seenggaknya aku bisa bantu kamuuu gituuuu, walau cuma sedikit".

Fitri. Sahabatku yang satu itu tak henti-hentinya bertanya. Berusaha untuk mengorek-ngorek informasi dariku. Ada apa. Apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa terjadi. Dan apa solusi untuk masalah ini. Padahal dia tahu, aku pasti akan menceritakan semua hal tersebut kepadanya. Tapi yang pasti, tidak dengan kondisiku yang sedang badmood saat ini.

"Tapi kayaknya, sekarang kamu lagi punya masalah berat banget ya? Nand?,"lanjutnya.

"Nandddd... aku ngomong sama patung kali ya? Dikacangin muluuu...,"

Fitri terlihat kesal karena mendapati aku yang tak meresponnya, justru mendiamkannya seakan tak ada yang berbicara kepadaku saat ini.

"Ish, diem sih Fit. Bentar aja. Pusing tau. Ntar juga kan aku kasi tau kamu," aku mendengus kesal. Kututup laptop yang sedaritadi bersinar dengan radiasinya, meletakkannya kembali ke dalam tas, kemudian aku bangkit meninggalkan Fitri.

"Naaaannnddd! Lo gak berubah-berubah ya!,"

Bodo amat dengan perasaan Fitri saat ini. Walau sebenarnya, di lubuk hatiku yang paling dalam (ceilah), akutakut juga dia tersinggung dengan perkataanku. Tapi yang aku tahu, jika memang dia marah, dia tak akan lama bertahan dengan kemarahannya. Paling tidak satu hari, kemudian ia berkata lagi "Nand, capek gue marah sama lo, kita beli es krim aja deh yuk daripada marah-marah gak jelas". Nah, begitulah maksudku.

Aku melangkahkan kaki dengan gontai. Berjalan dari lantai dua menuju lantai satu, kemudian berlanjut menuju asrama. Sebuah tempat yang kuanggap rumah, peristirahatan, atau sejenisnya yang dapat menjadi pelindung dan tempat untuk pulang. Asrama, yang lokasinya tak begitu jauh dari sekolah, eh kampus, merupakan tempat yang aman,nyaman, damai, indah, sentosa sehingga aku dapat bertahan hingga saat ini.

Fit, aku di cafe biasa. Sendirian nih, kamu kesini dong. Aku yang traktir deh...

Send.

Setelah meletakkan barang dan berganti pakaian, aku langsung berlari menuju tempat biasa nongkrong bersama Fitri. Tak lama kemudian, terlihat sesosok makhluk dengan mengenakan dress berwarna pink cerah, dilengkapi dengan sepatu Nike nya yang tak kalah pink dengan bajunya.

Ry(N)anda [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang