Bagian 12 : Sweet Love in February

70 3 1
                                    

Awalnya aku ragu, karena semua perkataannya waktu itu. Suatu ucapan yang hampir memupuskan perasaanku. Tapi entah mengapa, belakangan ini tingkahnya justru semakin menjadi, seakan menjelaskan kebalikan dari ucapannya. Ia tak kunjung menjauh.

Diawal bulan February itu, aku mengingatnya, tepat tanggal satu. Cahayanya terlihat semakin bersinar. Mungkin hanya perasaanku saja, namun apakah itu benar-benar nyata? Uh, aku jadi muak jika mengingat semuanya, maksudku muak dilanda dilema antara cinta dan pikiran logis tentang keadaan. Dasarnya saja anak remaja yang serba penasaran, faktanya, aku tetap melanjutkannya. "Apapun keputusannya, semua itu adalah resiko. Dan aku (juga hatiku) harus dapat menerimanya dengan baik", gumamku.

*

Pak Agus, wali kelas kami itu datang menuju ruang kelas untuk memberikan sedikit nasihat tentang pelajaran. Bukan hanya itu, ternyata kedatangannya sekaligus untuk menawarkan tentang adanya suatu lomba karya ilmiah tentang fisika terapan dalam waktu dekat ini.

Ia berkeliling, mencari siapa saja siswa atau siswi yang bersedia mendaftarkan dirinya.

Dengan telah berpikir panjang, aku mengangkat tanganku sembari menyatakan kesediaan atas tawarannya.

"Nanda,kamu benar bersedia? Bukankah kakimu masih sakit? Saya rasa kamu sebaiknya beristirahat terlebih dahulu," sahutnya.

Pernyataan beliau memanglah benar. Tapi setelah aku mencerna ulang dan membayangkan hal apa yang akan terjadi nantinya, justru aku menjadi lebih mantap untuk melanjutkannya. Tak hanya dengan alasan tersebut, lomba kali ini merupakan suatu kesempatan terakhir, karena di semester depan tak ada lagi para siswa yang diijinkan untuk mengikutinya.

"Enggak apa kok Pak. Kaki saya sudah dapat diajak kompromi," jawabku meyakinkannya.

"Oh, baiklah jika kamu memang bersedia. Lombanya kurang lebih satu bulan lagi. Saya sudah menentukan partner untuk kamu. Riyanda".

Aku melongok ke arah Ryan yang hanya memberikan senyuman datar.

Apa? Mengapa ia tak pernah bercerita sebelumnya tentang event ini?Atau mungkin dia memang sengaja merahasiakannya dariku? Huh, sungguh menyebalkan.

Setelah beliau meninggalkan kelas, aku beranjak untuk menemui Ryan dibangkunya.

"Ryan-,"

"Nand.. kamu apa-apaan sih?!,"

Baru saja aku menempelkan kedua pantat di atas tempat duduk disampingnya, aku sudah mendapati sebuah teguran yang aku tak tahu apa alasannya.

"Lah emang apa?," tanyaku bingung.

"Aku sebenernya gak mau ikut lomba. Kemarin tuh aku masih gak yakin aja. Eh kamu malah ngacungin tangan. Yaudah aku tambah gak bisa nolak deh".

"Oh, ternyata dugaanku salah," batinku setelah mendengar penjelasannya.

Wajah terkekeh ditambah dengan tatapan tanpa dosa sepertinya cukup untuk memberikan sebuah permintaan maaf dan terimakasih kepadanya saat ini. Kulihat dirinya yang begitu membosankan. Ia menggelengkan kepala setelah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

*

Enam jam setelah pernyataan kesetujuan perlombaan itu, aku dan Ryan bergegas untuk mendaftarkan diri secara online. Untung saja malam ini wifi di asrama sedang bersahabat, biasanya jam-jam seginilah koneksinya menjadi lemot tak karuan. Bukan karena belum dibayar, melainkan tak hanya aku yang saat ini tengah menggunakannya.

"Dah siap," ungkapnya.

Mataku melotot ketika membaca halaman demi halaman yang berada di laptopnya. Begitu terperinci dan lengkap. Juga cepat dan cermat dalam menyelesaikannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ry(N)anda [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang