Bagian 10 : When December End

46 0 0
                                    

Pekan demi pekan berlalu. Keadaan Fitri kini sudah membaik ketimbang sebelum kejadian itu. Walaupun hubunganku dengannya tak dapat dimuluskan kembali seperti sediakala, namun di sisi lain aku bersyukur karena hingga saat ini aku masih dapat berteman dengannya.

Kedekatanku dengan Ryan pun tak dapat terelakkan lagi. Belakangan ini kami lebih sering menghabiskan waktu bersama di luar jam pelajaran. Malam hari misalnya, ketika jam makan malam tiba. Aku dan dia keluar sebentar dengan niat untuk mengisi perut yang keroncongan.

"Nanda?,"

Ryan datang menghampiri kamarku. Gayanya yang kocak membuatku seakan ingin tertawa dibuatnya. Aku terkekeh, juga terkagum atas tingkah lakunya pada malam hari ini.

"Hei? Kamu sadar?," Ia menatapku sama bingungnya.

"Kenapa?,"

"Tumben amat kamu pakai topi kayak gitu? Mana rambutnya panjang lagi. Alay tau! Haha," sahutku tak memperdulikan bagaimana raut wajahnya saat ini.

"Gakapa. Keren kan?,"

"Ahelah. Keren dari mana? Besok potong rambut gih. Hiiihhh". Alih-alih menganggap dirinya keren, aku malah mengejeknya seperti itu.

Sebenarnya aku tak sudih mengatakan bahwa dia alay, toh aku masi suka sama dia. Eh? Tapi ya mau bagaimana lagi? Lebih tidak sudih jika saat ini aku mengatakan hal yang sebenarnya. Gengsi juga aku dibuatnya seperti ini.

"Yaudah ayo jalan. Nunggu apa lagi sih?,"

"Nunggu kamu lepas topinya,"

"Gak akan. Udah ayo!". Ryan menarik tanganku, lagi, kali ini aku sangat tidak keberatan dan mulai menyesuaikan langkah dibelakanya.

Malam kali ini tak jauh beda dengan malam-malam kemarin. Hanya saja saat ini, aku dan dia keluar agak larut. Sehingga beberapa pedagang yang biasa kami singgahi pun sudah banyak yang kembali atau mungkin mangkal di tempat lain.

"Nand?,"

"Hmmm?,"aku menjawab dengan meninggikan nada suara.

"Kamu liat ekspresi Tasya gak tadi di kelas?,"

Hah. Malam apa ini? Rasanya baru kali ini ia memperhatikan kejadian yang di alami Tasya di dalam kelas siang tadi. "Lihat. Memangnya kenapa?".

Fikiranku mulai bercabang. Memkirkan antara kelakuan dan perkataannya yang hari ini begitu membingungkan. Atau mungkin jangan-jangan Ryan punya . . .?

"Tunggu. Kok kamu jadi bahas Tasya sih?," sahutku sebelum ia mengucap kembali.

"Ya aku keinget aja. Lagian dia lucu kalau ekspresi malu nya keluar, pipinya jadi merah gitu," jawabnya.

"Oh. Lalu?,"

Seketika hening.

Aku masih menunggu kelanjutan dari ucapannya.

"Aku cerita ke kamu gak apa kali ya?,"

Sudah hampir lima menit kami berjalan. Bagaimana akan cepat sampai ketempat tujuan jika daritadi aku dan dia lebih terfokus pada sebuah pembicaraan yang entah hingga saat ini aku masih belum tahu apa maksudnya.

"Memangnya apa?".

Ryan menggantungkan ucapannya, dilanjutkan dengan menghirup napas panjang.

"Dulu. Dulu banget. Aku pernah punya pacar. Dia kalau lagi ketawa atau lagi malu, sama gitu kayak Tasya. Pipinya jadih merah, kayak tomat. Tapi lucu juga deh. Apalagi pas temen-temen dia ngeledekin ciye ciye pacaran sama Ryan," tukasnya sembari memperagakan buah tomat dengan mengepal kedua tangannya dan diletakkan di kedua pipinya.

Ry(N)anda [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang