UNREQUITED LOVE

115K 4.8K 236
                                    

DILARANG ME-REMAKE CERITA INI! Aku sedang bersiap untuk menerbitkan ulang di Wattpad.

Mau berteman denganku lebih dekat? Temui aku di media sosialku supaya kita lebih akrab:

Instagram/Twitter/Facebook/LINE: ikavihara

WhatsApp 0895 6038 79876

Please vote this up and leave me a comment, or two :-)

####

Kalau ada cerita yang tidak disukai Savara, tentu saja nomor satu dalam daftarnya adalah kisah tragedi Romeo dan Juliet. Memang tidak secara keseluruhan mewakili kisah cintanya, tapi paling tidak, Savara tahu apa yang dirasakan oleh Romeo. Cinta Romeo yang sangat besar, diabaikan begitu saja oleh Rosaline. Dalam dunia Savara, Mahir adalah Romeo. Sedangkan Amia—sahabat Vara—adalah Rosaline, wanita yang dicintai habis-habisan oleh Romeo. Mahir, tidak kalah bodoh dengan Romeo, menurut Vara, karena tidak mau mengungkapkan perasaannya kepada Amia.

Sayangnya hidup tidak seindah cerita dongeng. Di dunia nyata, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengubah hati orang lain. Vara bukan Juliet yang akhirnya bisa membuat Romeo melupakan Rosaline dan mengorbankan nyawa demi dirinya. Mahir tidak menyukainya. Dulu, sekarang dan sampai kapan pun. Kalau saingannya adalah Amia—yang lebih segala-galanya dari Vara—mana mungkin Vara bisa menang?

It is a story about unrequited love, a love that is only felt by one person. Vara menghela napas. Sampai kapan pun Vara harus berdamai dengan kenyataan ini.

"Thank you, Var." Vara sedikit tersentak mendengar suara Amia.

Amia melepaskan tangannya dari lengan Vara, tatapan mata lurus ke depan, terpusat pada satu titik. Suaminya. Belum pernah Vara melihat Gavin—atasan Vara, yang pagi ini resmi menikah dengan Amia—tersenyum selebar itu. Tanpa bisa dikendalikan, pandangan Vara mengikuti setiap gerak Amia, yang sekarang sedang tersenyum tersipu karena Gavin berbisik di telinganya.

Selama ini Vara tidak pernah cemburu pada apa saja yang dimiliki Amia. Bahkan saat tahu laki-laki yang dia sukai menyukai Amia, Vara tidak cemburu. Tapi sekarang, saat melihat Amia bersama suaminya, rasa cemburu dan iri merembes dari seluruh pori-pori Vara. Dia juga ingin bersama laki-laki yang mencintainya. Seperti Gavin mencintai Amia.

"Vara, Kakak titip Lea dulu sebentar ya, tas Lea ketinggalan di mobil." Daisy—kakak ipar Amia—menyentuh lengan Vara, memutus angan yang tidak akan menjadi nyata itu. Tidak dalam waktu dekat.

Vara tersenyum dan mengangguk. Selama ini dia baik-baik saja sendiri. Menjalaninya lebih lama tidak akan membuatnya mati.

"Hi, Miss Lea." Lea, anak perempuan Daisy, berpindah ke gendongan Vara.

"Es kim," kata Lea setelah nyaman bersama Vara.

"Lea mau es krim?" Vara tertawa melihat Lea mengangguk-anggukkan kepala dengan antusias. Cute.

Masih dengan tersenyum, Vara berjalan sambil menggendong anak perempuan kecil yang menggemaskan itu, mencari di mana es krim berada. Tangannya meraih mangkuk kecil bening dan mengisinya dengan es krim rasa kelapa dan stroberi. Dengan susah payah Vara berhasil mencabut tisu.

"Ini es krim Lea." Vara memilih duduk di kursi putih di dekat panggung sambil mengamati pemain band pengiring yang sedang siap-siap di sana.

"Mau makan sendiri?" Sambil memperbaiki posisi duduknya, Vara menyerahkan sendok kecil kepada Lea dan anak manis itu langsung menyendok es krim dan berusaha memasukkan ke mulutnya dengan semangat.

Vara gemas sekali dan menunduk untuk mencium pipi Lea.

Anak kecil di pangkuannya ini benar-benar manis sekali, memakai baju terusan berwarna putih—Vara berharap tidak ada insiden yang merusak baju Lea—dan sepatu berwarna ungu. Ada pita ungu melingkar di pinggangnya. Rambut pendek sebahunya juga dihiasi hair pin dengan bunga berwarna senada.

"Lea pinter," puji Vara saat Lea kembali berhasil menyendok es krim lagi dan mengantarkan ke mulutnya sendiri. Vara mengelap sekitar bibir Lea dengan tisu.

"Ah! Hahaha ... Tante kedinginan kalau Lea jatuhin es krimnya di baju Tante." Di sela-sela memindahkan es krim dari mangkuk ke mulutnya, Lea tidak sengaja menjatuhkan sesendok es krim ke gaun Vara. Cepat-cepat Vara mengelap gaunnya dengan tisu.

"Sini, Tante suapin aja ya." Pesta Amia bahkan baru sepuluh menit dimulai, tapi Vara sudah harus merelakan bajunya ternoda. Kalau begini, Vara perlu menggantikan Lea menyendok es krim demi keselamatan diri sendiri.

"Sudah?" Saat Lea menolak untuk membuka mulutnya lagi, Vara meletakkan mangkuk di kursi kosong di sampingnya.

"Mama...." Lea mulai bergerak-gerak di pangkuan Vara, mencari-cari ibunya.

"Mama pergi sebentar ambil susu Lea." Sambil berdiri, Vara berusaha menenangkan Lea. "Coba lihat ini." Vara mengambil ponsel dari tas yang tergantung di bahu kirinya.

"Kita foto ya?" Mungkin ini bisa mengalihkan perhatian Lea. "Lea, senyum. Cantik."

Vara berhasil mengambil satu gambar dan menunjukkan hasilnya pada Lea. Karena tangan Lea tidak mau lepas dari ponsel Vara, Vara membiarkannya dan memilih untuk memperhatikan Amia yang sedang tertawa bersama suaminya di pelaminan. Ada beberapa orang dari kantor Vara—dulunya tempat kerja Amia juga, sebelum mengundurkan diri karena menikahi orang nomor satu di kantor—berfoto bersama kedua mempelai di sana.

Mahir sudah mengatakan bahwa dia tidak akan menghadiri resepsi pernikahan Amia, walaupun diundang. Bukan lewat undangan terbuka di Facebook, tapi dengan undangan yang langsung diantar ke rumah. Bisa dipahami. Kalau Vara berada di posisi yang sama, dia juga tidak akan hadir. Karena tidak sanggup melihat pujaan hati berdiri di pelaminan dengan orang lain.

Vara menarik napas dalam, sesaat merasa tidak berguna dan ragu, apakah dirinya bisa menjadi wanita yang dimimpikan dan diinginkan oleh laki-laki itu. Atau laki-laki lain.

"Yang salah bukan kamu, Var. Tolong jangan menilai dirimu serendah itu. Kamu sangat layak dicintai oleh laki-laki yang tepat. Mahir nggak menyukaimu bukan karena kamu nggak cukup baik. Tapi karena Mahir menyukaiku," kata Amia dulu, saat Vara menyuarakan keresahannya.

Vara kembali mengamati tamu-tamu yang terus berdatangan. Our best friend's wedding should be one of the best days of our life. Seharusnya kita ikut antusias karena sahabat kita tengah memulai langkah untuk hidup barunya. Hari ini, seharusnya Vara ikut berbahagia untuk Amia. Bukan sibuk menyesali nasibnya—dalam asmara—yang tidak seberuntung sahabatnya.

***

Langkah Darwin terhenti saat mendengar suara Lea, keponakan kesayangannya, sedang ribut minta es krim. Kakinya sudah akan melangkah mendekati mereka ketika melihat Lea melintas digendong seorang gadis. Bukan Daisy, kakaknya, ibunya Lea. Tapi seorang gadis cantik yang sedang tertawa lalu duduk di kursi memangku Lea. Darwin sudah siap menyaksikan adegan seorang gadis, dengan wajah kesal, marah-marah dan berteriak karena Lea merusak gaunnya yang sempurna. Gaun berwarna mint itu memang sempurna sekali untuk tubuhnya, ditunjang warna kulitnya, rambut hitamnya, suaranya, tawanya ... oh, shit! Darwin mengumpat menyadari dirinya sedang terpesona pada seorang gadis yang baru pertama kali dilihatnya.

"Ah! Hahaha ... Tante kedinginan kalau Lea jatuhin es krimnya di baju Tante."

Tidak. Gadis itu tidak bereaksi seperti dugaannya—melipat wajah dan menggerutu—tetapi malah tertawa lalu mengelap bajunya dengan tisu. She laughs with her whole face. Seandainya saat ini malam hari dan gelap gulita, Darwin yakin seluruh ruangan ini akan tetap terang benderang di matanya. Her smile lights up the world. Or his world, to be exact. Darwin tidak bisa melepaskan pandangan dari gadis cantik itu.

####

SAVARA: YOU BELONG WITH METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang