Chapter 2

349 17 5
                                    

"Ra, lo kenapa sih dari tadi liatin jam mulu?", suara Kayla terdengar agak tinggi. Mungkin dia sebal karena dari tadi aku tidak fokus mengikuti rapat mingguan ekskul mading ini.

Aku segera meminta maaf kepadanya juga teman-teman yang lain. "Aduh maaf ya kalo gue nggak konsen, gue emang ada perlu abis ini. Tapi nggak apa-apa. Beresin aja dulu rapatnya, soalnya udah mepet deadline kan. Minggu depan kita harus udah pasang edisi baru. Yuk dilanjut, Kay."

Rapat berjalan dengan lancar. Meskipun dalam hati, aku tetap tidak tenang. Aku buru-buru merapikan barang-barangku dan memasukkannya ke tas.

Kayla bingung melihatku yang grasa-grusu, tidak seperti biasanya. "Hari ini lo kenapa sih, Ra? Aneh banget tau!"

"Perjanjian. Raka.", aku menjelaskan dengan singkat berharap Kayla mengerti maksudku. Secara dia sahabatku, dia selalu tahu apa yang terjadi antara aku dan Raka. Karena aku selalu bercerita kepadanya. Tapi aku lupa, Kayla belum tahu perjanjian baru antara aku dan Raka. Kayla 2 hari kemarin tidak masuk sekolah karena harus ke Bandung menghadiri pemakaman kakeknya. Aku yang tak ingin mengganggunya belum memberi tahu perkembangan dari perjanjian itu.

"Masih perjanjian yang itu? Lo belum berhasil datang ke sekolah sebelum jam 6? Terus sekarang mau ngapain? Kan perjanjiannya jam 6 pagi, sementara sekarang udah jam 15.15. Apa Raka berubah pikiran, dia akhirnya akan kasih tau lo siapa nama cewek itu?", tanya Kayla panjang lebar yang membuatku tambah pusing.

"You wish. Perjanjiannya yang diubah, Kay. Pusing gue." Kemudian aku menjelaskan aturan baru yang diberikan Raka dengan cepat kepada Kayla. "Ya jadi begitulah maunya Raka.", ujarku. "Udah ah, gue cabut duluan ya, Kay. Raka pasti udah nungguin. Bye!" Aku berlari kecil meninggalkan ruangan.

Dalam perjalanan menuju perpustakaan di lantai 2, aku menoleh ke arah lapangan. Kulihat anak-anak ekskul basket sedang berlatih. Mataku mencari-cari sosok Jovanka. Tanpa kusadari langkahku melambat sampai akhirnya berhenti ketika berhasil menemukan sosok dengan jersey nomor 10 dan bertuliskan nama "Jo".

Jo sedang men-dribble bola, sepertinya dia akan melakukan shooting. Rupanya bukan tembakan biasa, ia akan melakukan slam dunk. Aku tertegun saat melihatnya melompat. Napasku tercekat saat melihat perut six packs-nya yang terlihat dari balik kaos jersey yang terangkat saat dia melompat. Dia langsung ber-high five dengan teman-temannya. Belum sempat aku memalingkan wajah, ia telanjur memergoki aku yang dari tadi memperhatikannya. Meskipun ia tak bisa melihatku, aku yakin mukaku sekarang sudah seperti tomat rebus. Ia menyunggingkan senyuman padaku. Aku yang tak menyangka hanya bisa terpana dan membalasnya malu-malu.

Kakiku kembali melangkah menuju lantai 2. Belum sempat aku mencapai tangga, ada sosok Raka di ujung tangga paling bawah. Mukanya keruh. Kesal menungguku sepertinya.

"Ka, sorry ya, gue tadi rapat mading dulu.", aku menghampirinya.

"Rapat apa mantengin Jo latihan?", tanyanya ketus.

"Lho, kok malah marah sih? Gue emang beneran rapat. Kan gue udah bilang. Tanya aja Kayla kalo lo nggak percaya. Lagian apaan sih pake bawa-bawa Jo segala".

"Yadaa, yadaaa..." Ia malah melengos dan jalan melewatiku.

Aku segera menahan lengannya. "Mau ke mana?"

"Ya pulanglah. Gue nggak niat nginep di sekolahan." Nada bicaranya masih saja ketus. Heran deh. Ini anak kenapa sih. Cowok bisa PMS juga nggak ya? Tiba-tiba dia berkata lagi. "Ralat. Gue mau mampir dulu ke KFC. Laper! Baru abis itu pulang", katanya dengan suara agak keras. Sepertinya sengaja agar aku yang berada di belakangnya bisa mendengar.

Aku jadi semakin nggak enak sudah membiarkan dia menunggu dalam keadaan lapar. Kujajari langkahnya dan mencoba membujuknya. "Ka, gue minta maaf ya. Maaf udah bikin lo nunggu lama banget sampai lo kelaperan gitu. Soalnya tadi banyak banget yang harus dibahas karena udah mepet deadline.", kataku lembut sambil mengusap bahunya. Dia tetap diam saja. Ya udah deh, aku jadi ikutan diam juga. Daripada dia emosi lagi.

Kami berdua berjalan dalam diam. Aku yang berada di belakang Raka hanya bisa menatap punggungnya. Karena terfokus pada punggung Raka, aku tidak sadar kalau kami sudah sampai area parkir. Aku juga tidak sadar kalau ada seseorang yang mendekatiku. Kuangkat wajahku dan kutemukan wajah Jo yang tersenyum ke arahku.

"Hai...", ucapnya. Hanya satu kata yang ia ucapkan tapi ratusan kupu-kupu rasanya terbang bersamaan di dalam perutku.

"Hai..", balasku malu-malu.

"Maura kan? Mau pulang sama Raka ya? Kapan-kapan kalo gue yang anter pulang boleh nggak?", tanyanya.

Aku bengong mendengar rentetan pertanyaannya. Pertama, dia tahu namaku. Kupikir dia nggak akan memperhatikan cewek klub mading sepertiku. Kedua, dia menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang.

"Ya."

Dia tersenyum playful. "Ya apa nih? Ya nama lo Maura? Atau ya lo mau pulang bareng Raka? Atau ya lo mau kapan-kapan gue anter pulang?"

"Ya untuk semuanya", jawabku sambil menundukkan wajah.

"Oke deh, kapan-kapan kita pulang bareng ya".

Belum semput kuiyakan pernyataan Jo, terdengar suara Raka yang masih tetap dalam nada tinggi. "Mau bareng nggak?"

Dasar perusak suasana! Aku meliriknya sebal dan hanya menjawabnya singkat. "Iya."

Kulirik Jo yang memperhatikan kami berdua. "Yaudah, buruan sana. Abang gojek lo udah nungguin tuh.", katanya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa kecil, meski dalam hati tidak rela juga kalau Raka disebut tukang ojek. "Duluan ya.", pamitku pada Jo.

"Hati-hati", ujarnya.

Aku naik ke atas motor Raka. Kali ini kujauhkan posisiku darinya karena masih kesal dengannya yang telah merusak momenku dengan Jo barusan. Selain itu, aku tidak mau Jo melihatku menempel pada Raka dan menganggapku berpacaran dengan Raka. Raka mulai melajukan motornya. Aku yang biasanya berpegangan pada pinggangnya, kini hanya meletakkan tanganku pada bagian atas ranselnya. Lagi-lagi aku tidak ingin Jo melihat kedekatanku dengan Raka. Aku menengok ke arah Jo yang menatap kepergianku sambil melambaikan tangan. Kubalas lambaiannya dan sedetik kemudian Raka mempercepat laju motornya dengan tiba-tiba sehingga aku tersentak. Mau tidak mau aku harus berpegangan padanya agar tidak terjatuh.

Mungkin cowok memang bisa mengalami PMS. Bukan Pra Menstruation Syndrome tapi Pengin Marah Selalu. Persis kayak Raka sekarang ini.



ConfessionWhere stories live. Discover now