Chapter 8

233 22 0
                                    

Ponselku berdering sekali, tanda ada pesan yang masuk. Dengan tangan kiri, kubuka pesan itu. Dari Jo.

Aku berangkat sekarang.

Perkiraanku sekitar 15 menit lagi Jo akan tiba di rumahku. Buru-buru saja kuhabiskan roti di piringku. Setelah itu kuteguk susu cokelat, masih dengan terburu-buru tapi juga berhati-hati. Aku tidak ingin sampai tersedak apalagi jika sampai susu itu tumpah mengenai seragamku. Bisa ribet urusannya.

Selesai dengan urusan sarapan, aku memakai sepatuku.

"Berangkat sama siapa, Ra?" Terdengar suara mas Andra yang baru keluar dari kamarnya. "Mau bareng mas?" tanyanya lagi.

Aku tidak mengalihkan pandanganku dari kegiatan mengikat tali sepatu ketika menjawab, "Bareng temen, mas. Sebentar lagi nyampe."

"Temen siapa? Raka? Kayla? Donny?"

"Hm," balasku singkat. Selain sibuk dengan tali sepatu, aku enggan memberi tahu mas Andra bahwa Jo yang akan menjemputku. Bisa-bisa ia dan Bunda malah menginterogasiku. Dan saat ini aku tidak ingin diwawancari oleh mereka berdua.

"Aku berangkat ya." Pamitku sambil menyalami kedua tangan mereka.

Tepat saat aku membuka pintu, terlihat mobil Jo yang baru sampai. Jendela di kursi penumpang turun. Kemudian terlihat wajah Jo yang tersenyum dan lambaian tangannya. Segera aku menuju mobilnya sebelum mas Andra atau Bunda mengecek dengan siapa aku berangkat.

"Hei." Jo menyapaku begitu aku duduk manis di sampingnya.

"Hei. Sorry ya jadi ngerepotin gini."

"Ngerepotin apa sih? Kan ini emang maunya aku."

Kali ini dengan sadar aku mendengarkan Jo ber'aku-kamu'. Dan rasanya aneh. Mungkin belum terbiasa. Karena selama ini aku memang tidak memanggil teman-teman dan juga ketiga sahabatku itu dengan sebutan aku-kamu. Dengan gebetan-gebetan aku yang dulu juga, kami tetap dengan santainya ber'lo-gue'.

Bicara masalah gebetan, memang ada beberapa cowok yang pernah mendekatiku. Sayangnya status mereka tidak pernah naik menjadi pacar. Pertama, mereka tidak tahan banting dengan sikap over proctective-nya mas Andra. Masku itu emang suka keterlaluan sih sikapnya kalau sedang menguji mental cowok-cowok yang sedang PDKT denganku. Aku saja kadang jengah melihatnya. Apalagi para cowok tersebut. Tapi aku sadar, semua itu dilakukan kakakku karena ia ingin melindungiku.

Alasan yang kedua adalah para cowok itu merasa tersaingi dengan Raka. Mereka merasa waktuku terlalu banyak dihabiskan bersama Raka dibandingkan dengan mereka.

Yah, wajar dong kalau aku lebih nyaman bersama Raka. Toh aku lebih mengenal Raka terlebih dahulu. Raka juga bukan sahabat yang posesif kok. Dia selalu memberikan ruang bagi cowok-cowok itu untuk mendekatiku. Mereka saja yang terlalu gampang menyerah dalam menarik perhatian juga memikat hatiku.

Aku tersadar dari lamunan saat Jo membunyikan klakson, tanda untuk motor-motor di depan supaya minggir agar mobilnya bisa lewat.

Aku langsung melepas safety belt begitu dia mematikan mesin. Saat Jo mengambil tasnya di jok belakang, aku keluar dari mobil. Kutunggu dia selesai mengunci mobilnya.

"Thanks banget ya Jo," ujarku dalam perjalanan menuju ke kelas.

"Iya, Maura. Udah berapa kali sih bilang terima kasih. Aku nggak merasa direpotkan kok. Besok aku jemput lagi aja ya."

Itu pernyataan, kan? Bukan pertanyaan? Correct me if I'm wrong. Aku nggak mau kegeeran dan membuat hatiku lebih berbunga-bunga. Tapi tadi Jo memang memberitahu bahwa dirinya akan menjemputku lagi. Catat ya, memberitahu bukan mengajukan atau meminta. Karena kalau yang terakhir itu harus ada persetujuan dariku dulu. Sementara tadi dia tidak meminta aku untuk mengiyakan atau menolak tawarannya.

Aku berusaha mengajukan keengganan. Walau bagaimanapun senangnya aku bisa berdekatan dengannya, aku tetap tidak ingin terlihat jadi cewek gampangan yang mudah klepek-klepek karena pesonanya.

"Nggak usah deh, Jo. Kamu jadi repot kan. Harus berangkat lebih pagi, bangun lebih pagi, sarapan juga harus lebih lagi. Apa enaknya coba sarapan subuh-subuh, iya nggak?" Aku bertanya dengan nada ringan mencoba menghilangkan kecanggunganku setiap kali berada di dekatnya.

"Iya sih emang nggak enak sarapan pagi buta. Yang ada perut malah mules. But anything for you, Maura."

Aku berhenti menaiki tangga. Jo yang menyadari aku tidak ada di sampingnya juga ikut berhenti dan menoleh ke arahku yang berada 2 anak tangga di bawahnya. "Kenapa?" tanyanya.

Jo yang memang sudah tinggi, semakin menjulang saja di depanku. Aku mendongakkan wajahku. "Aww...barusan aku digombalin Jovanka Gibran," kataku dengan intonasi dibuat seperti orang terkesima.

Jo tertawa melihat tingkahku. Aku pun ikut tertawa. Tawa yang aku harap bisa menutupi detak jantungku. Tangannya menarik lenganku agar aku menaiki anak tangga dan kami bisa kembali sejajar.

"Seriusan itu, Maura. Kalau gombal tuh bukan kayak gitu. Tapi dengan bertanya 'Bapak kamu blablabla ya'"

Kali ini tawaku berderai. Kupukul lengannya. "Itu sih bukan gombal tapi lawak."

Jo menatapku yang masih tertawa. "Makin cantik deh kalau lagi tertawa kayak gini."

Kurasakan mukaku panas. Pasti sekarang sudah merah seperti tomat rebus. Jo menepuk kepalaku lembut. "Yang barusan juga bukan gombal lho ya," dia berkata sedikit kencang karena sambil berbelok ke sebelah kiri, letak kelas 12 IPS berada.

Wajahku tertunduk. Malu dilihat orang-orang yang kini mengarahkan pandangannya kepadaku setelah ucapan Jo barusan. Bisa-bisanya Jo berkata seperti itu di depan orang-orang. Tapi mau tidak mau bibirku tersenyum juga mengingat kelakuannya.

"Senang banget sih kayaknya." Terdengar suara dari arah belakangku. Raka. Sepertinya dari tadi dia ada di belakangku dan Jo. Apa dia mendengar pembicaraanku dengan Jo barusan?

Untunglah rasa senang ini begitu mendominasi, sehingga aku tidak sempat menganalisa pikiranku seperti biasanya. Yang ada aku malah menyapa Raka dengan riang.

"Pagi Rakaaa. Ganteng banget sih hari ini."

Raka mengernyitkan dahinya saat melihat gayaku yang sedikit centil. Aku hanya tersenyum dan mendahuluinya masuk ke kelas.

----
Halo, maaf kalau postingan kalo ini pendek banget. Abis dari kemarin bingung mau lanjutinnya kayak gimana. Ini aja tadi tiba-tiba dapet ide pas lagi ngawas TO. hahahaha

Lagi sedih juga sih. Love Journey yang baru 4 bagian, views dan votes udah setengah dari Confession. Padahal cerita ini bikinnya aku niatin banget lho. Apa kalian emang nggak begitu suka ya sama kisah Maura-Raka?

Tapiii setelah dipikir-pikir lagi, aku balikin niat awal aku nulis ini apa. Yaitu menuliskan kisah Maura-Raka biar nggak mengendap di pikiranku selamanya. Kalau ada yang baca dan suka alhamdulillah, kalau nggak juga ya ndak apa-apa. Meski aku lebih seneng kalau ada yang kasih vote & comment lho, jadi berasa aja gitu ada yang bacanya. Hehehehe

ConfessionWhere stories live. Discover now