Chapter 10

193 26 7
                                    

Suasana kantin selalu riuh saat jam istirahat. Setiap sudut dipenuhi teriakan yang memesan ataupun asyik bercanda dengan teman-temannya. Tapi begitu aku dan Jo menapakkan kaki di sana, seolah ada yang mengatur mereka, khususnya para cewek, untuk terdiam. Pesona Jo memang tidak bisa diragukan lagi. Atauuu...diamnya mereka itu justru karena aneh melihat kami jalan berdampingan? Memang apa yang salah denganku? Meski tidak secantik Widya, cewek yang dinobatkan tercantik di kelas 12 IPA, dan juga tidak semanis Mala, cewek idaman para cowok kelas 12 IPS itu, aku tidak jelek-jelek amat kok. At least, wajahku masih enak dipandang. Aku bersyukur dianugerahi kulit kuning langsat, hidung mungil, bibir tipis, mata bulat dan rambut hitam panjang yang kupadukan dengan poni rata. Padanan tersebut mampu menarik perhatian beberapa cowok yang mendekatiku. Tapi mungkin belum sebanding jika disandingkan dengan sosok Jo. Peduli amat kata orang, toh Jo sendiri nyaman-nyaman saja jalan denganku.

"Mau makan apa, Ra?" Suara Jo menyadarkanku. Rupanya ia sudah membawaku ke meja kosong.

"Eh..." Aku tergagap. Bingung mau memilih makanan apa. "Batagor aja deh," jawabku akhirnya. Baru saja aku hendak melangkahkan kaki menuju gerobak mamang batagor ketika kurasakan tanganku ditahan oleh Jo.

"Kamu diam di sini aja, biar aku yang pesen. Kamu jagain mejanya aja biar nggak diambil orang lain," katanya.

"Oh...oke deh. Batagornya saosnya sedikit aja tapi kecapnya yang banyak ya," pintaku menyebutkan bagaimana cara favoritku menyantap makanan tersebut.

Tidak lama kemudian Jo datang membawa sepiring batagor dan sepiring nasi goreng untuk dirinya sendiri. Di belakangnya ada Dimas, teman dekatnya, yang membawakan 2 gelas es jeruk untuk kami berdua.

Kuucapkan terima kasih pada Dimas dan memintanya bergabung dengan kami. "Nggak deh, Ra. Nanti gue ganggu kalian," katanya sambil cengar-cengir dan langsung meloyor pergi.

Jo sibuk dengan nasi gorengnya, sementara aku dengan batagor di hadapanku. Aku akan memasukkan suapan ketiga ke mulutku, ketika Donny tiba-tiba datang. Dia langsung mengambil alih sendok di tanganku dan menyuapkan ke mulutnya sendiri. Wajahnya tak merasa bersalah. Sementara aku sudah melotot melihat kelakuannya.

Belum sempat aku mengomel, dia sudah menyela, "Bagi ya, Ra. Laper banget gue. Lupa bawa dompet." Usai berkata itu dia kembali menyuapkan batagor ke mulutnya.

Jo sepertinya juga kesal melihat tingkah Donny. Karena tak lama kemudian aku mendengar suaranya. "Gue beliin deh. Yang itu kembaliin ke Maura."

Mata Donny seketika berbinar mendengat tawaran Jo. "Wah serius lo? Kalo kayak gini sih gue rela sahabat gue jadian sama lo."

"Nih. Buruan." Jo melambaikan selembar uang sepuluh ribuan pada Donny. Donny menyambutnya dengan gembira. Dia langsung melesat menuju gerobak batagor.

Aneh sekali tingkahnya barusan. Biasanya kalau dia tidak membawa dompet, begitu sampai di kelas dia langsung sibuk merengek minta dipinjami uang olehku, Raka atau Kayla. Tidak pernah langsung merebut makanan seperti tadi. Dan kenapa harus makananku? Kenapa bukan milik Kayla? Kenapa juga dia tidak jajan bersama Raka?

"Bro, thanks ya. Lo juru penyelamat gue hari ini," ujar Donny. Sementara Jo yang mendengarnya mengernyit geuleuh. Entah gimana caranya Donny bisa mendapat sepiring mangkok secepat itu. Mungkin dia menyelak antrian.

Jo sudah menghabiskan santapannya. Kemudian dia berkata, "Ra, tunggu sini ya. Jangan ke mana-mana. Nanti ke kelasnya bareng."

"Don, titip jagain Maura." Kali ini dia berkata pada Donny.

"Siap bos!"

"Mau ke mana Jo?" Aku yang penasaran akhirnya melontarkan pertanyaan tersebut.

"Biasa, urusan cowok." Setelah itu Jo langsung pergi keluar dari kantin. Aku mengikuti kepergiannya. Sosoknya menuju halaman belakang sekolah yang tepat berada di balik dinding kantin ini.

"Udah biarin aja, paling juga mau merokok."

Memang halaman belakang sudah terkenal dijadikan tempat merokok bagi anak-anak cowok. Letaknya yang jauh dari ruang guru yang berada di bagian depan sekolah, menjadikannya tempat yang aman bagi mereka. Apalagi setiap istirahat guru pun sibuk melepas lelah sehabis mengajar, sehingga jarang yang menginspeksi daerah sana. Kalau pun ada, sepertinya gerombolan itu punya banyak mata-mata. Begitu guru sampai di sana, mereka sudah bubar sekaligus melenyapkan barang bukti yang mungkin dibuang atau dititipkan ke para pedagang di kantin. Yang tersisa hanya bau rokok yang melekat di seragam mereka dan sama sekali susah untuk dibuktikan.

Aku tidak menyangka bahwa Jo termasuk salah satu gerombolan itu. Bibir para perokok kan biasanya hitam sementara bibir Jo berwarna merah muda. Jadi aku tidak ada bayangan sama sekali kalau dia adalah perokok. Ditambah selama Jo ada di dekatku belakangan ini, dia tidak pernah merokok di depanku.

"Muka lo keliatan bingung banget. Biarin aja kenapa sih. Namanya juga cowok. Gue sama Raka juga sesekali merokok."

"What? Dan selama ini gue nggak tahu kalau kalian merokok." Kucubit perut Donny. Cubitan kecil yang kupelintir. Biar tahu rasa dia!

Aku memang benci banget cowok-cowok yang merokok. Buatku merokok adalah kegiatan membakar uang. Apa yang lebih kubenci dari mereka? Mereka dengan entengnya membakar uang orangtua mereka. Sementara para orangtua kerja susah payah untuk memenuhi kebutuhan anaknya, yang jelas tidak pernah ada rokok dalam daftar mereka. Belum lagi efeknya yang buruk bagi kesehatan. Buatku rokok itu tidak ada bedanya dengan narkoba, sama-sama bikin kecanduan. Aku pernah baca buku Kicau Kacau karya Indra Herlambang. Di sana tertulis "Rokok itu drugs tauk, cuma legal aja." And I do agree. Makanya aku marah saat dengan mudahnya Donny mengaku bahwa dia dan Raka suka merokok.

Donny mengusap-usap bekas cubitanku di perutnya. "Cuma sesekali, Maura. Itu juga dapat minta ke anak-anak. Tenang aja, kita nggak bakar uang bokap-nyokap seperti yang selama ini lo ingatkan."

"Awas aja ya kalau gue lihat kalian merokok atau nyium bau rokok dari badan kalian. Gue cubitin sampai perut kalian kempes!" ancamku. "Oh iya, lo kok tumben nggak bareng Raka? Emang ke mana tuh bocah?"

"Raka? Ada kok." Donny terdiam setelah berkata demikian. Dia menyedot habis es jeruk milikku. Kemudian dia melanjutkan, "Tuh." Donny menunjuk ke arah belakangku.

Arah jam 5 dariku. Terpisah 5 meja denganku. Di sanalah Raka berada. Tersenyum manis pada cewek yang duduk di sebelahnya.

*****
Sebelumnya aku mau ngucapin makasih banyak buat yang udah vote di chapter sebelumnya. Rekor loh! Sehari bisa mencapai 10 votes. *ciyumin satu-satu*

Anywaaaayy, don't hate me please. Karena part ini pendek dan juga tidak memunculkan Raka sama sekali. Yaaaa, Raka juga kan mau malam mingguan sama......
.
.
.
.
.
.
.
.
sama siapa hayo?
Temukan jawabannya di chapter berikutnya 😆😆😆 *mulai nyebelin*
Tapiiii....next chapter aku post kalau votenya udah mencapai 20 yes? Boleh kan? 😆😆😆😆 *tambah nyebelin*
*ngumpet di balik Raka*

Oh iya, jangan lupa buat ikutan kuis ya. Semoga beruntung! 😉

ConfessionWhere stories live. Discover now