Chapter 19

117 10 3
                                    

Sorak-sorai pendukung dari 2 sekolah terdengar sampai kantin. Saat ini aku memang sedang berada di kantin SMA Nusantara. Setelah tadi Jo mengajakku makan siang, akhirnya dia mengijinkanku untuk menonton. Tidak hanya itu, dia juga mengantarkanku ke SMA Nusantara dan berkata akan menemaniku. "Aku ikut nonton sekalian jagain kamu, takut kamu kenapa-kenapa lagi," katanya. So sweet ya? Aku tidak tahu Jo bisa romantis seperti itu. Selama beberapa minggu kami pacaran, tidak ada tuh tingkah-tingkah Jo yang terlihat romantis. Misalnya memberikanku kejutan dengan membawa sekotak cokelat atau sebuket bunga. Tetapi hari ini aku mengerti, Jo romantis in his way. Dia mungkin tidak seperti cowok kebanyakan yang memperlihatkan keromantisannya dengan memberikan ceweknya berbagai macam barang, melainkan langsung menunjukkannya dengan perhatian.

Seperti sekarang ini, dia menyodorkan sebotol Kiranti setelah tadi aku menolak sekaleng coke dengan alasan takut bocor. "Kalau begitu, ini aja. Cocok buat kamu." Seakan aku tidak bisa membaca nama minuman itu, ditunjukkannya kata-kata "Sehat Datang Bulan" tepat di depan wajahku.

Kurebut botol itu dari tangan Jo dan menaruhnya kembali ke tempat semula. "Ya tapi nggak minum di sini juga kali Jo, malu dilihatin banyak orang." Aku mengambil 2 botol Pocari dari lemari pendingin. "Kamu ada yang mau dibeli lagi?" tanyaku sambil berjalan ke arah penjual untuk membayar.

"Nggak ada. Biar aku aja yang bayar, babe. Berapa Pak semuanya?"

Aku menoleh pada Jo. Barusan dia memanggilku apa, babe? Aku tidak salah dengar, kan? Karena baru kali ini dia memanggilku dengan sebutan kesayangan, biasanya juga hanya menyebut namaku saja.

Setelah membayar dan menunggu kembalian, kami pun berjalan ke lapangan tempat berlangsungnya pertandingan. "Jo, tadi kamu manggil aku apa? Babi?" tanyaku bercanda dengan maksud memancing.

"Masya Allah, masa aku manggil kamu babi sih. Kayak aku nggak sayang sama kamu aja. Aku tadi manggil kamu babe."

"Ohhh... kenapa manggilnya babe?"

"Terus kamu maunya dipanggil apa? Ayah-Bunda? Papi-Mami? Atau Umi-Abi?"

"Apaan sih norak amat panggilannya kayak gitu. Geli tau."

"Emang. Makanya aku manggil kamu babe aja ya. Lagian aku tuh nggak ngerti deh sama yang masih pacaran tapi manggilnya Ayah-Bunda dan sejenisnya itu. Manggilnya sih boleh Ayah-Bunda, tapi giliran dikasih anak aja pada nangis."

Butuh beberapa saat sampai akhirnya aku mengerti maksud ucapan Jo. "Jo, ngomongnya ihhh..."

"Lho, iya bener kan? Aku tuh sebel tau sama yang kayak gitu, panggilan udah kayak orangtua, giliran tiba-tiba harus jadi orangtua betulan mereka pada mau lari dari tanggung jawab."

Ada benarnya juga sih apa yang dibicarakan Jo. Aku juga sebenarnya geli dengan anak-anak seumuranku yang memakai panggilan semacam itu untuk pasangannya. Maksudku, mereka kan belum nikah dan belum punya anak juga, kenapa panggilannya kayak yang udah jadi orangtua gitu sih? Belum lagi waktu itu aku pernah lihat, ada cewek seumuranku yang salaman mencium tangan cowoknya dengan takjim saat akan berpisah. Saat itu rasanya aku ingin teriak, "Orangtua lo tangannya dicium setakjim itu juga nggak mbak?" saking kesalnya aku dengan kelakuannya itu. Kejadian itu aku jadikan pelajaran banget. Jangan sampai aku memperlakuan pacar sebaik mungkin, melebihi aku memperlakukan orangtuaku.

"Itu si Dimas pas ceweknya ulang tahun rela beliin cake dan kado, juga kasih surprise. Pas aku tanya dia pernah kayak gitu nggak ke orangtuanya, dia jawab nggak, malu katanya. Meh... Masa iya dia lebih bela-belain ceweknya."

Tuh, ada lagi kan kelakuan yang bikin geleng-geleng kepala. "Tapi kamu nggak gitu kan, yang?"

"Nggak dong, babe."

Kutepuk pundaknya tanda aku bangga karena dia berbeda dari cowok semacam Dimas yang lebih mementingkan pacarnya daripada orangtuanya.

"Kamu tadi manggil aku apa?" Kini giliran dia yang bertanya. "Yang? Dari kata sayang atau dari kata yang aus yang auuusss?" Aku hanya bisa menggelengkan kepala atas kegaringannya itu. Untung sayang, kalau nggak mana mau aku jadi pacarnya. "Eh aku haus beneran deh jadinya." Dia membuka kaleng coke miliknya. "Oh iya, kamu beli minumnya banyak banget sampai 2 botol?" Jo menunjuk ke kantong plastik.

"Bukan buat aku kok," jawabku. Aku celingukan mencari keberadaan Kayla juga tim futsal sekolahku. Datang terlambat karena tadi makan siang dahulu serta mampir ke kantin, membuat aku dan Jo mendapat tempat di belakang dan harus rela tertutupi badan-badan siswa lain yang sudah duduk bahkan berdiri di depan kami.

"Terus buat siapa?"

Aku mengambil sebotol Pocari dari plastik di tangan Jo setelah mendapati Donny dan anggota tim yang lain sedang melakukan pemanasan di pojok depan sebelah kanan. Dengan bersusah payah menerobos barisan orang-orang, akhirnya aku bisa sampai di barisan paling depan. Langkahku melambat begitu kulihat Raka mengambil handuk kecil dan sebotol Pocari yang disodorkan oleh Reya. Tidak hanya itu saja, Raka juga mengacak-acak rambut Reya ketika melihat tingkah lucu Reya yang menyemangati Raka. Rasanya aku ingin berbalik saja. Namun ada saatnya ketika kamu ingin kabur tetapi justru terjebak situasi yang mengharuskanmu tetap berada di sana. Tepat saat aku akan membalikkan badan terdengar suara Reya memanggil. "Kak Maura, sini." Reya melambaikan tangannya mengajakku bergabung dengan mereka.

"Hai..." aku menyapa mereka. "Sorry, gue nggak bisa gabung. Tadi gue sama Jo telat makanya dapat tempat di belakang." Aku menunjuk asal tempat Jo kini sedang menungguku kembali. "Gue cuma mau kasih ini..." suaraku sedikit tersendat sebelum akhirnya memanggil satu nama, "...Donny! Nih buat lo."

Donny menghampiriku dengan pandangan bertanya. Dia jelas tahu betul kebiasaanku membawakan minuman ini untuk Raka. Tapi seperti tahu keadaan, Donny hanya berkata, "Tumben. But thanks anyway," lengkap dengan cengirannya yang khas.

"Gue takut lo iri aja sama Raka. Sekali-sekalilah biar lo merasakan yang namanya diperhatikan," candaku. Setelahnya aku langsung pamit karena tak enak meninggalkan Jo sendirian di belakang sana.

Baru saja aku kembali di sisi Jo, suara peluit tanda permainan akan segera dimulai berbunyi. Aku berusaha fokus ke pertandingan meski harus sedikit berjinjit untuk menontonnya dengan jelas. Sebenarnya ini hanya aktingku saja yang terlihat menikmati pertandingan agar tidak diganggu dengan pertanyaan dari Jo. Karena aku yakin tadi Jo melihat kejadian di depan sana dengan jelas mengingat badannya yang tinggi dan tidak terhalang dengan barikade manusia di depannya.

"GOOLLLLLL" teriakanku dan teman-teman membahana ketika di menit keempat Raka berhasil membobol gawang lawan dengan tendangan jarak jauh yang sudah menjadi ciri khasnya. Raka langsung dikerubuti rekan-rekan setimnya. Bibirku tersenyum, bangga karena Raka bisa membawa tim sekolah kami unggul. Senyumku kemudian pudar begitu melihat Raka ber-high five ria dengan Reya yang menontonnya di pinggir lapangan.

"Kamu tau nggak, Ra?" Jo bertanya. Dia melirikku sekilas dan tanpa menunggu tanggapanku dia melanjutkan perkataannya. "Di setiap tim itu secara garis besar ada pemain penyerang, ada pemain tengah dan yang terakhir pemain bertahan. Kamu lihat..." Jo menunjuk ke arah lapangan, "...Raka itu penyerang dan Donny adalah pemain tengah. Siapa yang nentuin itu? Bukan atas kemauan mereka, Ra, tapi Pak Agus sebagai pelatih, karena beliau melihat potensi setiap anak."

Semenjak tadi aku tak berkomentar apapun. Aku dengarkan saja kuliah umum dari Jo yang sebenarnya sudah aku pahami. Pengetahuan itu kudapat berkat seringnya menonton pertandingan sepakbola bersama almarhum ayah dan mas Andra sedari dulu. Ya walaupun alasan utama aku menonton untuk melihat pemain-pemain yang ganteng daripada memperhatikan jalannya pertandingan dengan serius.

Rupanya sesi kuliah umum dari Jo masih belum selesai. "Miriplah kayak di kehidupan sehari-hari. Ada Tuhan yang mengatur segalanya dan kita tinggal memerankan peran di posisi kita masing-masing. Dan kali aja kamu lupa tentang pelajaran Geografi karena sudah lama tidak memperlajarinya, jadi aku kasih tau. Peran kamu itu sebagai pacarku dan posisi kamu itu seharusnya di sini, di samping aku." Jo menoleh ke arahku yang sedang menatapnya berbicara. Dia kembali mengarahkan pandangannya ke lapangan. Seolah belum cukup hatiku tergores karena kalimatnya barusan, ucapan Jo berikutnya semakin membuat hatiku terkoyak.  "Posisimu bukan di depan sana, Ra, bukan untuk mengganggu hubungan Raka dan Reya."
.
.
.
.
.
.
.
Sebenarnya ini cerita Maura-Raka apa Maura-Jo sih? Penulisnya pun bingung sendiri 😡😡😡😡 Kangen juga nulis tentang Raka

ConfessionWhere stories live. Discover now