Chapter 6

279 16 7
                                    

Aku duduk merapat ke arah Raka. Deru kendaraan bermotor yang cukup bising membuat suaraku tenggelam di antaranya.

"Ka, lo yakin sama anak itu?" tanyaku.

"Hmmm... Cindy maksud lo?" Raka balik bertanya.

"Iyalah, emangnya siapa lagi."

"Hmmm..." Raka hanya mendeham, membuat rasa penasaranku semakin meningkat.

"Kok cuma 'hmmm' aja sih, Ka. Yang jelas dong!" Kutepuk bahunya, tanda bahwa aku ingin dia menanggapiku dengan serius.

"Memangnya kalau gue jawab iya, kenapa?" Lagi-lagi dia membalikkan pertanyaanku.

Tak mau kalah dengannya, kubalas lagi dengan pertanyaan. "Yakin banget lo ya sama dia?"

"Kalau iya emangnya kenapa Maura Kinanti?" Kalau dia sudah memanggil namaku dengan lengkap, hanya ada 2 pertanda. Antara dia ingin sesuatu dariku atau dia gemas terhadapku. Dan saat ini, sepertinya panggilan itu untuk tanda yang kedua.

Ditanya begitu oleh Raka, aku pun bingung menjawabnya. Apa sebenarnya alasanku tidak menyukai Cindy? Apakah karena tadi Cindy tidak memanggilku dengan sebutan 'kak'? Yang menunjukkan itu adalah salah satu sifat jeleknya, yaitu tidak menghormati orang yang lebih tua. Sehingga aku berpikiran, untuk hal sesederhana itu saja dia minus, apalagi hal yang lain. Itukah yang membuatku tidak suka dengannya? Atau apakah karena Cindy anak cheers dan tidak akan cocok dengan Raka yang rada geek?

Kurasakan tepukan di tangan kiriku. Terlalu larut dalam pikiranku sendiri, aku jadi tidak menyadari kalau sudah sampai rumah.

Aku turun dari motor Raka dan kuserahkan helm padanya.

"Mikirin apa sih, non?" tanya Raka.

Aku menimbang-nimbang apakah sebaiknya kulontarkan apa yang ingin kukatakan.

Ehm...

Sengaja aku mendeham, supaya mengurangi nervous juga supaya Raka fokus pada apa yang akan kusampaikan.

"Raka, kalau gue boleh usul sih, mending lo jangan sama Cindy deh."

Raka menatapku tajam sampai kedua alisnya berkerut.

"Alasannya?"

Kugerakkan telapak kaki kananku, sambil mencoba mencari alasan yang tepat dan masuk akal.

Kemudian terdengar derai tawa Raka.

"Jangan bilang lo cemburu, Maura? Hahahaha."

Raka masih saja tertawa. Ia sampai memegangi perutnya.

Sementara aku hanya tercengang. Memikirkan pertanyaannya tadi. Cemburu. Satu kata yang menohok ulu hatiku. Apa aku benar-benar cemburu?

Lagi-lagi aku terlalu menganalisa perasaanku. Raka sampai menjentikkan jarinya untuk mengembalikanku dari lamunan.

"Serius banget sih," katanya sambil mengacak-acak rambutku. Lalu dia melanjutkan, "Lagi pula dari tadi kan gue belum mengiyakan kalau cewek misterius itu Cindy."

Benar juga, ya. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Akhirnya aku hanya bisa cengengesan. Tak tahu harus berkata apa.

"Eh, besok jadi?"

Raka meminta konfirmasiku, apakah kami---Aku, Raka, Donny dan Kayla--- jadi berkumpul di rumahku.

"Jadi dong! Pulang dari sini lo jangan lupa beli monopoli ya."

"Oke, siap bos! Ya udah, gue pulang ya. Tolong pamitin ke Bunda. Sekalian bilang, besok jangan lupa masak yang banyak." Katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.

ConfessionWhere stories live. Discover now