Chapter 20

76 4 2
                                    

Jam di atas papan tulis sudah menunjukkan 06.25. 5 menit lagi sebelum bel pelajaran pertama berbunyi. Teman-teman di kelasku masih sibuk menyalin PR Fisika. Untung tadi aku berangkat pagi, karena mas Andra kebetulan ada rapat di Bandung, aku sekalian berangkat dengannya. Jadi aku bisa santai studi literatur (bahasa keren dari menyontek yang diusulkan teman-temanku) bersama kedua temanku yang lainnya. Tentu saja dengan berpatokan buku PR milik Zidan, teman kesayangan kami semua. Disebut kesayangan karena walaupun dia siswa terpintar di kelas ini namun dia tidak pernah pelit berbagi ilmu kepada kami. Baik dengan cara langsung yaitu mengajak kami belajar bersama, atau secara tidak langsung dengan membiarkan bukunya menjadi bahan studi literatur kami.

Kayla yang melihatku sudah selesai langsung meminjam bukuku. Dia tidak ingin berdesakan dengan teman-teman yang lain. "Pagi-pagi udah keringetan itu bikin mood jelek buat menjalani hari," jelasnya.

"Sebenernya Fisika yang kita pelajari ini buat apa sih?" Terdengar celetukan Donny di sela-sela kegiatan menulis.

"Buat bikin kita susah, Don," aku menimpalinya.

"Kayak hidup gue kurang susah aja."

Beginilah kehidupan kami, anak IPA yang selalu mencaci pelajaran Fisika.

"Ini lagi si Marthen siapalah itu pengarang buku paket, hidupnya kurang piknik kali ya? Sempet-sempetnya bikin soal seabreg gini. Mana susah lagi. Sial amat dari kelas X dikerjain doi mulu." Donny masih misah-misuh sembari tetap menyalin isi buku yang entah punya siapa. Sementara Raka di sampingnya anteng menulis sambil mendengarkan musik dari earphone yang tersambung ke ipod miliknya. Aku memandanginya sekilas sebelum berbalik karena colekan Kayla.

"Lo udah baikan sama Jo?"

Mendengar pertanyaannya justru membuatku teringat kembali kata-kata Jo.

"Kamu tau nggak, Ra? Di setiap tim itu secara garis besar ada pemain penyerang, ada pemain tengah dan yang terakhir pemain bertahan. Kamu lihat.,Raka itu penyerang dan Donny adalah pemain tengah. Siapa yang nentuin itu? Bukan atas kemauan mereka, Ra, tapi Pak Agus sebagai pelatih, karena beliau melihat potensi setiap anak. Mirip kayak di kehidupan sehari-hari. Ada Tuhan yang mengatur segalanya dan kita tinggal memerankan peran di posisi kita masing-masing. Dan kali aja kamu lupa tentang pelajaran Geografi karena sudah lama tidak mempelajarinya, jadi aku kasih tau. Peran kamu itu sebagai pacarku dan posisi kamu itu seharusnya di sini, di samping aku. Posisimu bukan di depan sana, Ra, bukan untuk mengganggu hubungan Raka dan Reya."

Itu adalah kata-kata terpanjang yang pernah kudengar dari Jo. Sekaligus kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya sejak 2 hari yang lalu. Hari ini sudah memasuki hari ketiga sejak komunikasi dan pertemuan terakhir kami. Bisa dibilang ini pertengkaran terbesar kami yang pertama. Seharusnya aku meminta maaf kepadanya. Bukankah kita tidak boleh bermusuhan lebih dari 3 hari?

"Salahnya di lo, Ra. Lo yang harusnya minta maaf, nggak usah pake gengsi segala deh." Kayla memperingatkanku.

Terkadang aku memang gengsi mengalah untuk meminta maaf terlebih dahulu. Apalagi jika memang aku merasa bahwa akulah yang benar. Kali ini, seperti apa kata Maura tadi, kesalahan ada di pihakku. Tetapi aku masih juga mencari-cari pembenaran bahwa Jo juga salah. Dari awal aku sudah bilang, aku malas berurusan dengan cowok yang insecure tentang hubunganku dan Raka. Jo waktu itu terlihat oke-oke saja. Lantas mengapa dia kemarin mempermasalahkan? Dan kalimat terakhirnya telak memukul ulu hatiku. Aku benci diperingatkan bahwa tempatku bukan untuk di samping Raka. Lebih benci lagi karena aku dianggap ingin merusak hubungan Raka dengan Reya. Padahal tidak pernah terlintas sedikitpun niat seperti itu. Kalau Raka bahagia, ya sudah. Aku mencoba untuk ikhlas walau berat.

Kayla tak berkata lagi begitu Bu Harti memasuki kelas dengan senyumnya yang terlihat manis namun menyimpan makna "Sudah siap berkutat dengan Fisika lagi?"

***

Begitu bel istirahat berbunyi, aku segera bangkit. Semangat untuk membeli asupan makanan pengganti energi setelah 4 jam maraton Fisika dan Kimia.

Tangan Kayla menarikku masuk ke perpustakaan ketika kami melewati ruangan itu. Di tangannya ada buku PR Fisika milikku yang tadi pagi dipinjamnya.

"Eh," aku menahan langkahku. "Jangan bilang lo masih mau belajar Fisika? Kalo iya, lo belajar sendiri deh. Gue laper banget nih."

Kayla tidak menjawab. Justru dia memelototiku dan kembali menarik tanganku untuk mengikutinya. "Duduk." Kayla sedikit mendorongku agar menduduki bangku yang berada di pojok perpustakaan.

"Apaan nih, Ra?"

Kayla menunjukkan tulisan di halaman belakang buku catatanku. Aku terpekur, mengingat-ingat apa yang sudah kutulis di sana.

Astaga!

Belum sempat aku mengambil buku itu, Kayla sudah menanggapi isinya.

"Ck. Ra, otak lo di mana sih? Ngapain coba bikin tabel perbandingan tentang Raka dan Jo? Lo pikir mereka berdua itu barang yang harus dipertimbangkan dulu baik-buruknya sebelum lo beli? Terus apa untungnya juga lo bandingin mereka berdua? Emang lo harus milih salah satu di antara mereka?"

Argh. Aku tambah pening kalau sudah mendengar Kayla dan rentetan pertanyaannya itu.

"Lo nggak perlu membanding-bandingkan Raka dan Jo. Lo nggak dihadapkan pada situasi untuk memilih salah satu dari mereka. Karena pilihan yang lo punya cuma tetap bersama Jo atau harus tanpa dia. Tidak ada Raka dalam pilihan lo," lanjut Kayla.

Aku termenung mendengar ucapan Kayla. Meski dia suka merepet tak berhenti kalau sudah bertanya atau berkomentar, tapi apa yang dia lontarkan ada banyak benarnya.

"Maura Kinanti..." Kayla memanggilku. Mau tidak mau aku menatapnya. Siapa pun yang memanggil nama lengkapmu, maka orang itu ingin meminta perhatianmu sepenuhnya.

"Kalau memang lo ingin tetal sama Jo, lo harus menyelesaikan urusan hati lo dengan Raka."

"Maksud lo?" tanyaku yang tak mengerti.

"Lo harus mengeluarkan apa yang selama ini tersimpan di hati."

"Jadi, gue harus bilang perasaan gue ke Raka?"

Anggukan kepala Kayla menunjukkan bahwa dia mengiyakan pertanyaanku.

"Tapi untuk apa Kay? Raka kan udah sama Reya."

"Untuk mengurangi apa yang membebani lo selama ini. Selesaikan apa yang sudah lo mulai. Perasaan lo untuk Raka juga hubungan lo dengan Jo. Beresin satu per satu, Maura. Demi ketenangan hati lo, Jo dan semua yang terlibat dalam benang kusut ini."

Aku kembali tercenung mendengar perkataan Kayla. Mungkin ada benarnya juga. Aku harus melakukan apa yang dia usulkan tadi, agar tidak ada lagi beban yang menghalangi urusan perasaanku terhadap Jo.

***

Seharian aku memikirkan perkataan Kayla. Menyatakan perasaan faktanya tak semudah tinggal bilang "Aku sayang kamu.". Butuh nyali dan mental yang kuat untuk melafalkan 3 kata itu.

Sebenarnya aku tak punya beban takut ditolak oleh Raka. Toh aku murni hanya ingin menyatakan saja tanpa mengharapkan balasan. Hanya supaya aku lega dan bisa meneruskan hubunganku bersama Jo dengan lebih tenang tanpa bayang-bayang Raka.

Seolah mengerti perasaanku saat ini, playlist di ponselku memutar lagu Confession milik Afgan. Lagu yang kujadikan anthem semenjak memiliki perasaan khusus untuk Raka.

Your smile brings light into my days
The thoughts of you, warm my night
To hold you in my arms,
Even in my dreams it feels so right
Loving you...

You never see the way I look into your eyes
You never realize the love I feel inside
Pain and sorrow that haunted me,
Cause words are left unsaid

Now you've found someone else to love
Deep in my heart, love won't fade away
To hold you in my arms
Even in my dreams it feels so right loving you

You never see the way I look into your eyes
You never realize the love I feel
inside
Pain and sorrow that haunted me,
Cause words are left unsaid to you...

So, should I make a confession to Raka?

ConfessionWhere stories live. Discover now