Chapter 4

288 19 3
                                    

Perjalanan menuju rumahku terasa canggung. Suara lantunan lagu dari radio mengisi kekosongan di antara aku dan Jo. Mungkin karena ini kali pertama kami berinteraksi sedekat ini. Setelah menanyakan alamat rumahku, dia bertanya hal-hal remeh lainnya. Basa-basi.

"Tumben nggak pulang bareng abang gojek kesayangan?", tanyanya dengan senyum meledek.

Aku meliriknya dan berkata, "Gue nggak suka lo nyebut dia abang gojek. Dia sahabat gue. Kebetulan dia harus pulang duluan tadi." Aku berbohong, malas menceritakan yang sebenarnya. Semoga Jo memang tidak menyadari bahwa tadi Raka berdiri di belakang mobilnya.

"Ups, sorry. Nggak usah ngambek gitu dong. By the way, lo bimbel hari apa aja sih?"

"Selasa dan Kamis."

Gantian dia melirikku, kemudian kembali fokus dengan lalu lintas di depannya.

"Wah, kebetulan dong. Gue juga bimbel di hari yang sama. Tempat bimbel kita juga deketan. Lo pulang bareng gue aja?"

"Eh...serius? Lo dari kemarin nawarin pulang bareng mulu. Kenapa sih? Lo mau mengasah bakat terpendam lo untuk jadi sopir pribadi ya?" tanyaku setengah bercanda, setengahnya lagi memancing maksud di balik sikap Jo.

Tangan kirinya menjawil pipi kananku. "Hahahaha, lo kali tuh yang ada bakat jadi pelawak. Lucu banget, sumpah! Masa gue disamain sama sopir sih. Nggak cocok dong, gue kan terlalu ganteng." Dia berkata sambil tersenyum jumawa, sementara tangannya sibuk mengganti perseneling dan membelokkan setir. Rupanya kami sudah tiba di depan kompleks perumahanku.

Aku baru tahu dia ternyata narsis juga. Berbeda dengan Raka yang tidak pernah mengakui kegantengannya, malah menganggap dirinya biasa saja.

Masih penasaran, kutanya lagi, "Terus alasannya apa dong?"

Dia terlihat sedang berpikir. Emang pertanyaanku sulit ya?

"Hmmm, kalo gue bilang supaya gue bisa deket sama lo, kedengeran gombal nggak?"

Deg!

Walaupun jawabannya sesuai dengan harapanku, tetap saja aku kaget saat mendengarnya. Belum juga aku jawab, dia sudah berkata lagi.

"Benar rumah lo yang ini?" tanyanya sambil menengok ke arah sebelah kiri.

Refleks kuikuti arah pandang Jo. Ternyata, karena tadi aku kaget mendengar pernyataannya, aku sampai tidak sadar mobil telah berhenti tepat di depan rumahku.

Kubuka seat belt. "Iya"

Kemudian suasana hening, sama seperti saat awal aku masuk ke mobil ini. Karena kupikir tak ada lagi yang bisa kulakukan, aku bersiap untuk keluar dari mobil.

"Thanks ya, Jo, udah anterin." kataku. Kuputar kepalaku, dan kudapati Jo masih memandang ke sebelah kirinya. Tetapi pandangannya tidak lagi ke arah rumahku, melainkan wajahku. Untung saja sekarang sudah gelap dan pencahayaan pun remang-remang, sehingga Jo tidak akan tahu merahnya mukaku saat ini.

Agar suasana tidak tambah canggung, aku dengan berat hati mengatakan "Jo, sorry nggak bisa ajak lo mampir. Di rumah lagi nggak ada orang." Ya, aku memang sudah diberi ultimatum oleh Bunda dan Mas Andra untuk tidak membawa teman lelaki jika di rumah sedang sepi. Meskipun ada mbak Novi, asisten rumah tangga di rumahku, tetap saja aku tidak berani melanggarnya. Bisa-bisa aku kena grounded lagi.

Mendengar perkataanku, Jo bukannya kecewa malah terkekeh geli. Aneh!

"Nggak masalah. Masih ada besok-besok. Kan gue bakal jadi sopir pribadi lo." Setelah berkata itu, dia mengedipkan matanya genit.

Aku hanya bisa menanggapinya dengan berdeham. Sikap Jo membuatku bingung, apakah dia sedang serius atau bercanda. Tak ingin pusing, sekali lagi aku pamit padanya.

ConfessionWhere stories live. Discover now