Adelia menggigit bibirnya. Gereget. Sebentar lagi pelajaran Kimia. Dan dia punya musuh bebuyutan yang harus ditewaskan !
Remedial. Sesuatu yang mengikuti Adelia sejak zaman SMA-nya. Entah kenapa seperti penyakit berjangkit yang menular ke satu per satu pelajaran. Mulai Matematika ke kimia dan kawan-kawan lalu merambat ke Bahasa Indonesia kemudian Bahasa Inggris. Tak lama setelah itu seluruh pelajaran.
Fathir cuma bisa menatap Adelia datar saat cewek itu terkomat-kamit membaca mantera–eh, rumus. Kepalanya mulai diisi dengan beberapa rumus kimia sebelum nanti otomatis terhapus kembali. Fathir di sebelah Adelia hanya membaca novel dengan hening.
"Hukum avocado. Ngg... V per n sama dengan k. K itu konstanta, V itu... volume gas, terus, n itu..." Adelia mengambil jeda panjang. Mengingat-ingat rumus yang dihapalnya 10 menit terakhir. "N itu apa ya ?"
"N itu jumlah molekul. Bisa diem ngga ?" Fathir mengalihkan tatapannya ke Adelia. Mata tajamnya sempat membekukan cewek itu.
"Ih, lo yang harusnya diem ! Hormat dikit dong sama orang bego." cibir Adelia yang membuat Fathir putus asa menghentikan cewek itu. Dia menukar posisi duduknya ke arah Adelia. Buku paket kimia yang terdampar di atas meja diletakkan di pangkuannya.
"Yaudah. Kalo gitu biar gue bantuin."
"Oke, keren. Ayo, tanyain gue." ujar Adelia dengan raut yang ditampilkan pemain gusti ke lawannya.
Fathir membuka buku paket kimia dengan tatapan serius. Tatapan yang paling dibenci Adelia karena wajah itu seolah meneriakkan 'gue pinter dan gue tahu itu.' Sudut mata Fathir yang tajam juga menambahkan aura minta ditabok. Jangan lupa seringai miringnya yang sangat memuakkan.
"Sebutkan usulan Avogadro tentang partikel di dalam satu mol atom."
"Hukum alpukat, ya ? satu mol atom itu ada 6,02 dikali 10 pangkat 23 partikel."
"Apa hipotesis hukum Avogadro ?"
Adelia menggaruk-garuk kepalanya. "Uh... gas yang memiliki volum, suhu, dan tekanan yang sama akan mengandung jumlah molekul yang sama. Bener kan ?"
Fathir mengangguk. Dia hendak menanyakan soal beberapa soal lagi kepada Adelia tetapi Bu Dewi dengan langkah tegasnya berjalan masuk ke kelas. Seisi kelas berdiri dan ketua kelas mengucapkan salam kepada Bu Dewi.
"Selamat pagi, anak-anak," balas Bu Dewi yang masih berdiri di tengah kelas. "Yang remedial, ayo dibaca bukunya 5 menit."
Adelia menghembuskan napas lega. Dia masih memiliki waktu sebelum menyesali dirinya. Isi Bab Hukum Dasar Ilmu Kimia dihapalnya tanpa terkecuali. Adelia terkomat-kamit lagi menjabarkan satu per satu. Fathir yang lebih memilih diam dari disembur Adelia sesekali melemparkan pandangan ke cewek itu.
Bu Dewi melirik jam tangannya. Ditatapnya seluruh kelas."1 menit lagi dan remedial akan dimulai." Wanita paruh baya itu bergerak ke meja guru untuk mengambil soal remedial.
Adelia menutup bukunya. Dia menarik napas panjang.
"Semoga berhasil." ucap Fathir datar sambil membawa novel yang dipinjamnya dari perpus tempoh hari. Menunggu di luar bersama anak-anak bukan remedial pasti membosankan tanpa ditemani sebuah buku.
"E-eh, bentar !" kata-kata Adelia menahan Fathir. Cowok itu sudah sudah meraih gagang pintu ketika Adelia memanggilnya. Adelia berdiri kemudian menundukkan kepalanya di depan Fathir. "Tepukan semangat."
"...Maksud lo ?" Fathir benar-benar tidak mengerti dengan permintaan cewek itu. Tangannya terasa disengat saat Adelia menggenggamnya dan menaruh tangan besarnya di kepala cewek itu hampir sebesar bola basket.
"Uh... Tangan lo itu ajaib. Jadi, lo harus berbagi 'keajaiban' sama gue." Adelia menyesali apa yang dilakukannya sekarang. Untung kepalanya masih tertunduk. Jika tidak, Fathir bisa melihat semburat merah di pipi cewek itu.
"Berusahalah," Fathir menepuk kaku kepala Adelia. Otomatis cowok itu membuang pandangan ke arah lain akibat jantungnya yang melompat-lompat. Lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan kata-katanya. "Adelia."
Meskipun Fathir sudah berlalu pergi, rasa hangat yang menjalar di kepalanya masih tersisa. Adelia kembali ke kursinya. Kelas menjadi lengang dengan kepergian 'orang-orang yang bernasib baik' dalam ulangan kimia. Tidak ada kelibat Mika yang memang maniak kimia, Yasmin, Absyar, dan tentunya, si papan tulis, Fathir. Dari kejauhan dia bisa melihat Nate, teman sehidup sematinya di seberang sana di baris kedua dari meja guru.
Bu Dewi mulai membagikan kertas. Kertas yang benar-benar bisa mengguncang seluruh hafalan Adelia tadi. Kelas mendadak tegang.
"Peraturan Ibu seperti biasa. Tidak ada suara, tidak ada berdiskusi," Tatapan tajam Bu Dewi menyebar ke seluruh kelas. Mempengaruhi temperatur ruangan itu dengan aura hitamnya. "Dan tentunya TIDAK ADA MENYONTEK."
Hening menguasai keadaan. Adelia menggenggam pulpennya dan menuliskan jawabannya.
"Yang sudah selesai bisa dikumpulin," cetus Bu Dewi setelah hening yang lama–cukup lama untuk menyelesaikan soal remedial kimia. Adelia menjadi gugup. Telapak tangannya terasa lembab di saat pulpennya menyentuh kertas. Hafalannya terpecah menjadi sejuta paradoks.
Adelia melayangkan tatapannya ke arah jendela di sebelah kanannya. Cahaya matahari yang menembus kaca tak tembus pandang itu mengingatkannya pada tepukan semangat Fathir tadi. Entah kenapa hafalannya tadi yang sempat hilang menyatu kembali. Senyumnya cerah, seperti cahaya yang terang di balik jendela kirinya.
Setelah cukup yakin dengan jawabannya, Adelia mendorong kursinya pelan. Senyum cerahnya masih belum luntur. Dia pasti akan sangat berhutang budi kepada Fathir.
Bu Dewi yang sudah mengumpulkan seluruh jawaban remedial berdiri di muka pintu sambil memanggil anak-anak bukan remedial untuk masuk ke kelas. Pikiran Adelia otomatis menghapus data hafalan kimia tadi dan menggantinya dengan susunan dialog terima kasih kepada Fathir.
Pintu ditolak dan kelas terisi sedikit demi sedikit. Bu Dewi sudah keluar dari kelas karena rapat guru. Fathir menaruh buku novel yang dibacanya tadi ke laci mejanya. Adelia menunggu Fathir menyandarkan tubuhnya dengan nyaman lalu dia akan membuka suara.
"Fathir," panggil Adelia yang ternyata bersamaan dengan panggilan dari sebelah lain. Dari Yasmin.
Fathir menatap Adelia sesaat sebelum berbalik ke arah Yasmin. Mereka membicarakan sesuatu dan Adelia yang tidak terlalu peduli hanya menunggu gilirannya untuk menyampaikan apresiasi dua paragrafnya yang berisi 'betapa berterima kasih dirinya'.
"Oke." Sebuah kata sepakat yang diucapkan Fathir kepada Yasmin. Entah apa yang dibicarakan dua makhluk itu. Setelah kata sepakat itu dilontarkan, Yasmin berlalu pergi. Fathir menatap Adelia. "Lo mau ngomong apa tadi ?"
"Ngga jadi." balasnya. Mengucapkan terima kasih kepada cowok yang telah membuatnya tersiksa selama 6 bulan kebelakang seharusnya hal terakhir yang ingin dilakukannya. Adelia meletakkan kepalanya di atas meja lalu menutup matanya.
"Adelia," pelan tapi pasti Adelia mendengar suara khas Fathir.
"Apa." Dia terlalu malas untuk sekedar mengangkat kepalanya dan menatap cowok itu. Walaupun Fathir memulai bicara itu sangat jarang. Kedengaran sepatah dua kata dari cowok itu.
"Iya, iya, iya. Gue tau." kata Adelia sembari menggerakkan kepalanya. Dia bahkan tidak mendengar apa yang dikatakan Fathir.
Adelia tak pernah tahu apa yang diucapkan Fathir kepadanya dan apa yang dibicarakan Fathir dengan Yasmin.
Sehingga 2 hari kemudian.
Author's Note
Ahahahaha haaai~
Cerita gaje bin absurd kembaliii
Btw, cerita ini sudah berumur hampir 2 tahun (padahal rasany baru kemarin dipublish )
Makasih banyak buat yang baca, vote, dan comment !
Kalian membuatku jadi semangaat menulis :3
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]
Teen FictionFathir, si Mr. Newton. Dan Adelia, si Miss Idiot. Hm, mungkin itu ide yang buruk.