Peluang

1.3K 94 21
                                    

Adelia menyusuri balkon yang masih sepi karena bel istirahat belum berdengking. Di pelukannya terdapat sebuah buku paket Fisika, buku tulis, dan alat tulisnya. Bu Dwi memberikan tugas Fisika yang banyak. Cukup banyak untuk memperkusut kepalanya. Untung saja Bu Dwi memberikan 10 menit istirahat lebih awal. 

Langkahnya terhenti saat perhatiannya jatuh pada sisi tangga.

Kelihatan Fathir dan Yasmin sedang membahas sesuatu. Yasmin dengan wajah seriusnya dan Fathir--yang biasanya tak berekspresi--menggaruk-garuk tengkuknya. Adelia tidak bisa mengikuti apa yang dibahas, tapi dengan skenario itu terbentuklah suatu pemikiran: Fathir sedang menembak Yasmin !

Tinggal menghormati privasi mereka sebentar lalu Adelia akan bertindak sebagai wartawan dan mengucapkan selamat kepada Fathir, si wajah datar yang mengesalkan, atas perkembangan pesatnya.

"Selamat bro !" ucap Adelia pada Fathir setelah berpecah dengan Yasmin di sisi tangga. Cewek berkucir itu sudah menuruni tangga sementara Fathir kembali ke arah kelas. Sebuah peluang sempurna untuk mengambil laporan penuh dari Fathir. Bonus Adelia menonton acaranya secara langsung.

"A-apaan ?" cowok itu malah balik bertanya.

"Cie yang pacaran,"

"Siapa yang pacaran ?" wajah Fathir yang cemberut bertambah berat mendengar kata-kata Adelia. Saat Adelia mulai mencerocos hal-hal yang tidak relevan, mata Fathir terpaku pada selembar kertas yang tertempel pada papan pengumuman di sebelahnya.

"Ada olimpiade." ujar Fathir dengan separuh fokusnya membaca kertas pengumuman itu.

"Hah ?" Adelia ikut memerhati kertas pengumuman olimpiade. Tertulis di situ olimpiade Fisika, Kimia, Biologi, dan Matematika. Syarat dan ketentuannya berjejer di bagian bawah. Setelah dilihat-lihat, Adelia mungkin lulus syarat dan ketentuannya. Tidak ada nilai mata pelajarannya di bawah 4.

"Lombanya minggu depan," katanya lagi. "Formulirnya bisa diambil dari guru matapelajaran."

"Cepet banget," keluh Adelia. Siapa yang bisa ngebut belajar dalam waktu tak sampai seminggu ? Terlebih lagi soal olimpiade yang susahnya minta ampun ?

"Lo harus ikut olimpiade Matematika." 

"E-eh ? Kenapa ?" Adelia terbelalak kaget. Barusan dia berpikir untuk menyertai Olimpiade Biologi. Bukan Matematika tentunya. Bertemu nomor-nomor itu lebih mengerikan berbanding anatomi manusia.

"Karena cuman dengan cara itu lo bisa lepas dari belajar bareng gue."

Adelia terdiam. Kata-kata Fathir ada benarnya. Walau hanya lulus seleksi sekolah mungkin dia bisa dilepaskan oleh Bu Kar. Pasti tidak banyak yang mengikuti olimpiade Matematika. Cuman dengan sedikit upaya saja dia bisa bebas dari Fathir Khuarizmi. 

"Bukan cuman lo. Tapi kita," ujar Fathir dingin. Tatapannya menajam. Cowok berwajah datar itu kemudian berbalik. "Gue mau ngambil formulir dari Bu Kar."

Ditatapnya punggung fathir yang menjauh. Apa cowok itu benar-benar membenci Adelia ?

...

"Jadi lo disuruh ikut olimpiade Matematika sama Fathir ?" tanya Natet setelah menyeruput teh manisnya.

"Ya gitu," balas Adelia pendek. Baksonya tidak tersentuh. Dia cukup bingung dengan persiapan apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi olimpiade Matematika. Mengerjakan soal Matematika untuk beberapa hari ke depan adalah hal terakhir yang diinginkannya. "Tapi gue gak rela, Tet."

Natet merangkul Adelia. "Tapi coba bayangkan kebebasan lo setelahnya." Natet mengangkat tangannya seperti sedang bercerita.

"Tapi gue tersiksa." 

"Kebebasannya, Del. Pikirkan kebebasannya." Natet meyakinkan. Matanya membulat sebulat tekadnya. Adelia melepas rangkulan Natet yang membuatnya semakin risih.

"Yah terpaksa." Adelia menggali baksonya yang mulai mendingin. 

"Tapi lo juga gak boleh terpaksa." kata Natet setelah berdiam lama. Adelia mengelap sisa kuah bakso di bibirnya. Dia mengangkat alisnya. "Kalau lo terpaksa, maksudnya lo gak ikhlas. Jadi lo gak suka. Jadi--" 

"Lo ngomong apa ? Gue gak ngerti kalau udah berfilosofi begini." protes Adelia pada Natet yang sedang merangkai kata. 

"Intinya, lo harus suka kalau mau berhasil."

Kembali lagi Adelia terdiam. Melamun singkat dengan kata-kata Natet di otaknya.

"Adelia," suara berat yang tak asing itu memanggilnya. Adelia berpaling. Fathir dan hal-hal yang mengesalkannya. "Yang olimpiade Matematika disuruh ngumpul." 

"Gue duluan," Adelia beranjak dari bangku dan mengikuti langkah Fathir. Sebelum dia menjauh dari Natet, cewek itu berpaling sembari menyeringai. "Makasih, Tet."

Adelia mengira telah kehilangan jejak Fathir namun bernapas lega ketika melihat cowok itu hilang di balik pintu aula. Dengan tergesa disusulnya ke aula. Hampir saja Adelia berteriak melihat manusia-manusia yang berkumpul di aula.

Dengan mudah dia bisa mengenali wajah-wajah yang sering dipanggil saat upacara hari Senin--untuk sebab yang baik tentunya. Wajah-wajah yang biasa disebut-sebut dan diagungkan oleh guru. Bahkan kakaknya, Dian, ada di antara mereka.

"Ini mengerikan." bisik Adelia pada Fathir disisinya. Cowok itu hanya mengangkat bahunya tak peduli. Adelia dan Fathir menduduki tempat kosong di belakang. Aula beberapa detik kemudian hening. Kecuali suara Bu Kar yang sedang menjelaskan terdengar.

Hening menyerap Adelia ke dunianya sendiri. Nyalinya perlahan runtuh. Memikirkan dirinya yang tersesat dalam labirin rumit bernama 'Matematika'. Dengan para ksatria berpedang sementara dirinya hanya membawa panah. Bagaimana bisa dia menembus labirin itu dengan panah ?

Intinya, lo harus suka kalau mau berhasil, kata Natet.

"Kelas 10 ?"

Fathir yang sudah mengangkat tangan menyikut Adelia dengan lengan kirinya. Adelia seperti terbangun dari tidur. Dia menatap Fathir sekilas lalu mengangkat tangannya juga.

Setidaknya ada ksatria berperisai bersamanya.

"Baik, kelas 10 kira-kira ada 5 orang," Bu Kar mengabsen. Dia membenarkan letak kacamatanya. "Untuk kelas 10, saya mengerti kalian harus berusaha lebih keras dari kakak kelas kalian. Saya cukup berharap ada di antara kalian yang lolos."

"Itu saja untuk hari ini. Silahkan mengambil formulirnya sebelum keluar." ujar guru Matematika kelas 11 yang berdiri di sudut ruangan.

Adelia mengambil formulir olimpiade dengan ragu. Terlebih lagi saat pandangannya bertumbukan dengan Bu Kar. Wanita itu pertama menatap tak percaya tetapi kemudian menyunggingkan senyum. Seolah meyakinkan Adelia untuk mengambil formulir itu.

"Besok, jam 10, di perpustakaan kota." ujar Fathir ketika mereka berjalan beriringan ke kelas. Adelia mengangkat alisnya. Fathir menatapnya datar.

"Awas kalau lo gak ikut." ancam Fathir sembari berjalan duluan ke kelas. Adelia terdiam. Nyalinya menciut.

Author's Note

Part. Ini. Aneh. Sekali.

Dan ini tanpa direview lagi lho. Jadi... kalo ada typo bilang ya ?

Eniwey, ini adalah akibat kekurangan ide setelah hiatus untuk UN (yang hiatusnya berlanjutan sampai hari ini). hehe. Maafkan aku.

Terima kasih karena membaca, vote, dan komentar ceritaku. Untuk yang komentar, maafkan aku kadang tidak membalas ;_; kadang aku tidak tahu mau dibalasnya gimana


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang