"Pssst... Fathir"
Fathir tidak menggubris panggilan Faris. Cowok itu pasti meminta contekan.
"Psssst ! Fathir !" panggil Faris lagi tanpa sadar seseorang memerhatikannya dengan pandangan tajam.
"Faris, sekali lagi saya mendengar suara kamu, saya ambil kertas kamu" kata Bu Dewi. Nyali Faris terus menciut saat mendengar peringatan. Beberapa orang terkekeh saat cowok itu dimarahi Bu Dewi. Fathir yang berada di depannya hanya menyunggingkan senyum.
Fathir menatap Adelia yang beda beberapa jalur dengannya. Dari tadi pena gadis itu bergerak dengan laju. Sesekali kelihatan dia mencoret sesuatu. Mungkin dia sedang mengerjakan esai. Fathir telah menyelesaikannya sejak tadi.
"Tiga puluh menit lagi !" seru Bu Dewi yang sejak tadi berkeliling kelas. Kadang ia menatap kepada beberapa orang murid yang dicurigai menyontek.
Fathir mengecek jawabannya untuk kesekian kalinya. Rumus kelembaman ? cek. Jenis logam ? cek. Setelah meresa yakin, ia melepas nafas lega sambil merehatkan tangannya yang pegal akibat menulis.
Di sisi lainnya, Adelia sedang menyelesaikan perhitungan fisika. Saat dia salah menulisnya, dengan segera dicoretnya perhitungan tadi. Saat dia merasa gereget, dia akan menulis dengan tulisan malasnya yang sukar dibaca.
Bu Dewi melirik jam tangannya. "Siapa yang sudah selesai bisa keluar,"
Tepat beberapa detik setelah itu, satu per satu murid meninggalkan tempat duduk mereka dan menyerahkan kertas ulangan kepada Bu Dewi. Bilangan murid yang tinggal menyusut drastik. Sehingga menyisakan beberapa orang saja. Sama ada orang-orang yang masih belum yakin dengan jawabannya atau orang yang masih belum menemui jawabannya. Adelia termasuk yang kedua.
Kreek !
Sebuah kursi ditolak pelan. Fathir bangkit ke meja guru dan mengumpulkan kertas ulangannya. Sempat dia melirik Adelia yamg duduk di baris yang paling depan. Gadis itu kelihatan gelisah.
Yakin bisa ngalahin gue ? bisik hati kecil Fathir sambil berlalu pergi.
...
Adelia menjadi orang yang terakhir yang mengumpulkan kertas. Dia mendengus kesal saat keluar dari ruang ujian. Otaknya seakan-akan diputar belitkan sehingga tidak bisa berfungsi dengan baik.
"Del, gimana soal tadi ?" tanya Aprilia sambil menepuk pundak Adelia. Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Bingung. Mau dibilang mudah, tidak mudah. Mau dibilang susah juga tidak terlalu.
"Lho ?" Nate menatapku aneh. "Lo harus tau, dong, Del"
Serta merta Adelia menjadi down. Seperti ada sebuah beban diletakkan di atas bahunya.
"Udah, jangan dibahas" kata Aprilia coba menceriakan ketika melihat salah satu sahabatnya muram. Masing-masing mereka mengambil buku Bahasa Indonesia. Mereka berjalan bergandengan ke kantin.
Adelia menatap Fathir yang berdiri di sisi lain balkoni. Tanpa sadar, pandangan mereka bertubrukan. Cepat-cepat dialihkan kepalanya. Apakah memang iya--atau hanya perasaannya saja--yang Fathir tersenyum sinis kepadanya.
...
Ukh, tidak. Cukup.
Entah berapa kali kata-kata itu diulang. Tiga kata yang membuatku sebal. Tiga kata yang membuatku benci. Ya, tentunya benci kepada dirinya.
Fathir. Nilai. Tertinggi.
Pengumuman bu Kar tadi sudah cukup membuatku kehilangan nafas. Aku kalah dalam tantanganku sendiri. Cowok disebelah seakan tersenyum hina kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]
Novela JuvenilFathir, si Mr. Newton. Dan Adelia, si Miss Idiot. Hm, mungkin itu ide yang buruk.