Haii..
Gimana kabarnya? Masih sanggup membaca ceritanya?
Semoga saja masih sanggup, HAHA #maksabanget!
Yahh.. aku baru sadar kalau di 2 bab sebelumnya Farrel tidak muncul. Aku baru sadar, Sekarang, Bahwa, Farrel tidak ADA!
Jadi, khusus untuk Bab ini, Farrel akan muncul sepuasnya!Selamat Membaca^_^
***
Steve berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Ia berhenti di depan
sebuah kamar lalu mulai membuka pintu.Farrel Nicholas Xavier sedang duduk santai diranjangnya sambil memainkan ponsel-nya. Steve memutar bola matanya karena kesal, ia berjalan memasuki ruangan itu dan mendekati Farrel.
"Oh, El. Apa yang kau lakukan?" Tanya Steve.
"Maksudmu?" Farrel bertanya balik.
"Kau, jangan berpura-pura bodoh. Aku sedang bertanya padamu, apa yang.."
"Tolong berbicara menggunakan bahasa planet Bumi, Stev. Aku tidak mengerti dengan bahasa Mars atau Yupiter mu"
"Demi Tuhan, El! Aku sedang tidak bercanda! Apa kau baik-baik saja? Kenapa.."
"Yeah. I'm Fine. Fine. Aku cukup baik, Steve. Jadi berhentilah khawatir" Farrel menatap Steve lalu tersenyum menenangkan. "Well, apa yang kau bawa untukku dari Inggris?" Tanyanya sambil menyimpan ponsel nya.
"Hei, jadi kau menyuruhku kesini hanya untuk bertanya itu? Tuhan! Ini masih jam sekolah dan kau dengan teganya membohongiku mengatakan kalau kau sekarat. Oh tuhan ini tidak bisa dipercaya. Begitu bodohnya aku sampai mempercayai orang yang sedang sekarat bermain handphone!" Steve tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya "Kau sungguh keterlaluan, El"
Farrel tertawa kecil "Aku bosan, Steve. Aku juga tau kalau kau bahkan bosan berada dikelasmu, kan? Aku sangat mengetahui sifat luar dalam mu," Farrel nyengir. "Jadi, Tidak ada cara lain, Man. Dimana oleh-olehku?"
Meskipun masih merengut ia tetap berkata kepada Farrel dengan mata berbinar. "Akan ku berikan nanti. Aku sudah membelikan sesuatu untukmu dan Uncle."
"Hm.. Ya. Ahh, aku lupa. Kau tinggal dimana? Apa kau tinggal disebuah Apartemen mewah?" Tanya Farrel.
"Aku tinggal disebuah apartemen didekat pantai. Kau tau kan aku suka berselancar, sangat indah hidupku jika.."
"Baiklah. Sudah kuputuskan akan mencobanya nanti. Kau tidak keberatan kan, Steve?"
***
Steve mengemudikan mobilnya dengan kecepatan standar. Sesekali ia melirik ke arah Farrel yang duduk disebelahnya. Sudah dua hari Farrel dirumah sakit, akhirnya hari ini dokter memperbolehkannya pulang. Saat ini Steve akan mengajaknya ke apartemen yang baru di belinya.
"Jadi, kita akan kemana sekarang?" Tanya Farrel akhirnya.
Steve memutar bola matanya. Hari ini hari minggu. Jadi, ia juga akan mengajak Farrel ke laut. "Dasar berisik. Kita akan ke apartemenku dulu. Aku ingin mengganti pakaian terlebih dahulu. Kau tidak berfikir kita akan berselancar dengan baju seperti ini kan?"
Mereka baru saja selesai makan siang disebuah restoran mewah yang direkomendasikan oleh Farrel.
"Baiklah. Tapi aku tidak ikut."
"Why? Ayolah El. Kau tidak akan membuang akhir weekend-mu dengan percuma kan?"
"Sepertinya kau melupakan sesuatu, Steve." Farrel berkata dengan enggan.
"Maksudmu?" Steve terlihat bingung. Sedetik kemudian ia mendesah "Sorry. I'm really forget" Ujarnya dengan wajah menyesal.
"Ya, ya. Singkirkan wajah menyebalkanmu itu dari hadapanku"
Mereka pun sampai. Steve berjalan memasuki lift diikuti oleh Farrel. Apartemen Steve berada dilantai 15. Setelah sampai di lantai 15, mereka keluar dari lift dan terus berjalan sampai mereka tiba dipintu berurut 123. Nomor cantik.
Steve pun membuka pintu apartemen dan mereka masuk ke apartemen Steve. Farrel berdecak kagum melihat apa yang terpampang dihadapannya.
"It so great Steve. You know? I really like it. Kau menata ruang ini dengan sempurna."
"Kau terlalu berlebihan."
Farrel berjalan menyusuri ruang tamu dan ruang duduk. Kakinya tidak berhenti melangkah dan matanya tidak berhenti memandang sekeliling.
"Wow ini keren. Steve, apa kau juga memiliki studio musik pribadi di apartemenmu?" Tanya Farrel sambil masuk kesebuah ruangan.
Sebenarnya ruang yang disebut studio itu, tidak benar-benar bisa disebut studio sungguhan. Studio itu hanya sebuah ruangan kecil dengan piano besar yang terletak ditengah ruangan, gitar yang terletak dengan elegant disudut ruangan, sebuah sofa besar yang bisa memuat 10 orang untuk duduk terletak tidak terlalu jauh dari gitar, dan juga sebuah meja kecil disamping sofa yang diatasnya berisi kertas-kertas instrumen beberapa lagu.
Farrel berseru senang saat melihat barang-barang itu "Sepertinya tempat ini menyenangkan. Aku tidak akan pernah merasa bosan jika menginap." Ujarnya sambil melihat kertas-kertas instrumen lagu. "Ini sungguh Wow"
"Ini tidak sebesar studio dirumahmu, El" Steve melangkah memasuki ruangan itu dan duduk disofa besar itu. "Studiomu lebih besar daripada ini"
Farrel tertawa dan duduk disamping Steve "Tapi ini sangat keren"
Steve berdiri dan melangkah ke pintu "Aku akan membuatkan minuman untukmu. Kau mau apa?"
"Apa saja"
Steve pun menuju ke dapur dan mengambil beberapa kaleng minuman dan membawanya kembali ke studio. Ia meletakkan minuman itu diatas meja. Farrel mengambil sebotol minuman lalu membukanya dan menyesapnya.
"Lagumu bagus, Stev"
"Hmm.."
Farrel masih membolak-balik kertas instrumen itu. "Kau tidak jadi berselancar?" Tanya Farrel sambil menatap Steve.
"Hmm.. Aku jadi ingin mendengarkan permainan pianomu, Mr. Xavier. Sudah lama aku tidak mendengarnya." Ucap Steve lalu menunjuk instrumen dan piano secara bergantian.
"Jadi aku mendapatkan sebuah kehormatan untuk memainkan lagumu?" Farrel tersenyum lalu berjalan kearah piano "Kalau begitu buka telingamu lebar-lebar, siapkan tisu untuk antisipasi karna mungkin saja kau akan menangis, serta duduklah senyaman mungkin. Kau tidak akan pernah menyesal jika mendengarkan permainanku, Mr. Everdeen"
***
Well, kalian lihat? Sombong sekali laki-laki itu. Haahh, biarkan sajalah. Emang sudah karakter Farrel dibuat begitu #nyengir
Baiklah, Jangan lupa vote dan komennya yaa^_^ Terima kasih sudah membaca.See you:*
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEMBER YOU
Teen Fiction" sebenarnya aku tidak terima kalau mainanku yang berharga harus direbut mereka " Lucu sekali melihatnya malu dengan wajah memerah -Farrel Nicholas Xavier- " Berhenti menganggapku mainanmu, bodoh! Aku BUKAN barang dan juga BUKAN boneka yang bisa kam...