This is Good Bye?

543 27 1
                                    

"Keiko-chan??!"

"Hikss... Fahmi-kun....," isaknya.

Ini sesuatu yang tidak mungkin dan tidak boleh terjadi seharusnya. Aku sekarang mengejar Keiko-chan. Aku kejar dia. Seharusnya ini tidak boleh terjadi. Keiko-chan, aku lihat dia menangis. Aku tak ingin dia menangis. Aku kejar dia. Tidak hanya aku, teman-temannya juga mengejarnya. Dan setelah sampai di luar pabrik aku tak melihat Keiko lagi.

Aku pun lesu. Bingung, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku melihat ada taksi lewat. Segera aku hentikan. Saat itulah temannya Keiko-chan ikut naik taksi bersamaku.

"Kamu kekasihnya Keiko-chan? Aku ikut. Aku khawatir dengannya," katanya.

"Baiklah," kataku.

Kami berdua kemudian masuk ke taksi.

"Kamu, Fahmi-kun kan? Aku Kanon," kata Kanon-chan. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku menundukkan wajahku. Di dalam taksi Kanon melihatku dan menunggu ceritaku. Ah, baiklah. Aku ceritakan semuanya.

"Yang terjadi sebenarnya tidak seperti yang kalian kira. Aku tak tahu apakah Keiko-chan mau mendengarkanku ataukah tidak. Aku ingin kamu ceritakan apa yang sedang terjadi kepadanya kalau aku tak bisa bicara kepadanya nanti. Kamu mau?"

Kanon-chan mengangguk. "Aku akan mendengarkannya, ceritakanlah!"

Aku pun mulai bercerita tentang Vindy dan segalanya ini terjadi. Awal ketika aku berhubungan dengan Keiko-chan hingga peristiwa hari ini.

* * *

Vindy makin hari makin menerorku. Aku serba salah, atau memang aku bodoh. Lebih tepatnya memang aku bodoh. Keiko-chan sebentar lagi akan tiba di Indonesia. Aku penasaran, aku excited, aku argh... sebut saja sesuka kalian. Aku sendiri sedang galau bagaimana caranya agar bisa lepas dari seorang wanita bernama Vindy. Aku mengirim pesan kepada Keiko. "Kapan datang?", "Jadi ke Indonesia?", "Perlu dijemput?" Arrghh... aku bingung. Dan sekarang waktuku mulai habis untuk meladeni Vindy. Hampir tiap waktu dia mengirim pesan, hampir tiap waktu-waktu yang tidak tepat ia telepon. Ketika kuliah, ketika aku sedang mengerjakan tugas dan lain-lain. Sungguh, andai program yang ada di perusahaan itu bukan buatan ayahku dan aku, pasti aku akan pergi dari dia.

Namun bukan Fahmi namanya kalau aku tidak punya alternatif lain untuk ini. Selama seminggu penuh aku merencanakan sesuatu yang mungkin bisa membantuku untuk bebas dari Vindy dan juga aku bisa menyelamatkan pekerjaanku. Tapi, sekali lagi aku butuh suatu cara agar Vindy tidak curiga. Jadi, aku tetap bersikap manis di depannya, berusaha menjadi "pacarnya" tapi sebenarnya hanya pacar imitasi.

Aku mengumpulkan literatur dari perpustakaan, aku juga mencari-cari di internet tentang cara mengunci program dan cara untuk membuat virus. Tak ada cara lain. Mungkin memang aku harus berkorban untuk hal ini. Bisa jadi perusahaan ini akan menuntutku kelak karena aku telah memberikan program yang membuat mereka rugi, tapi ini semua ada alasannya. Dan alasanku bisa dibenarkan. Mungkin.

Ayah merasa aneh dengan sikapku akhir-akhir ini yang cenderung lebih banyak diam daripada bicara. Memang beliau tidak bertanya, tapi dengan melihat sikapku saja beliau sudah pasti mengetahuinya. Aku memang tak banyak bicara mengenai diriku sendiri, terlebih untuk curhat kepada kedua orang tuaku. Tapi, aku pasti akan bercerita kepada mereka kalau ada permasalahan. Hanya saja, permasalahan yang ini cukup pelik.

Menyadari betapa besar dan rumitnya permasalahan ini, maka aku pun nekat. Aku kemudian mencari-cari di internet perusahaan-perusahaan yang memperbolehkanku untuk kerja praktek di tempat mereka. Susah. Sudah pasti. Tapi aku tak menyerah. Aku hanya punya satu tujuan, yaitu aku tak ingin menyakiti Keiko. Bagiku Vindy itu ibarat seperti tokoh antagonis. Aku tak tahu bagaimana ia tiba-tiba sudah berada di dalam kehidupanku dan mengobrak-abrik semuanya. Argh, rasanya ingin sekali aku bilang, "Aku tak bisa"

Mengejar ShinkansenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang