Mengejar Shinkansen

558 28 0
                                    

Aku mungkin harus berterima kasih kepada orang-orang anggota komunitas otaku yang ada di Jepang. Mereka menolongku. Seharian mereka mencari-cari keberadaan Keiko-chan. Mungkin memang kesalahanku sehingga aku harus menderita seperti ini. Untuk sementara aku tinggal di rumah Eiji-san. Rumahnya ada di Ikebukuro. Aku pun mendapatkan ijin untuk bisa tinggal sementara di sana. Rumahnya sederhana tidak mewah, untuk masuk ke rumahnya kita harus naik karena lantai satu dipakai oleh keluarga lain. Boleh dibilang ini rumah ngontrak.

"Kamu cukup lancar berbahasa Jepang ya Fahmi-san," kata Eiji.

"Begitulah," ujarku.

Kami berdua menyiapkan sarapan. Terus terang aku juga merasa tak enak kalau numpang di rumah orang tapi tidak melakukan apapun. Eiji-san selalu menolak tapi aku bersikeras membantunya. Paling tidak ilmu memasakku bisa aku terapkan di sini. Ia cukup terkejut ketika aku bisa memasak. Bahkan hasil kreasi masakanku sempat membuatnya heran. Aku sudah bangun pagi-pagi tadi, sudah mandi dan sudah beribadah. Setelah berjibaku di dapur akhirnya kami pun sudah berada di meja makan.

"Aku tak pernah menyangka kamu bisa memasak Fahmi-san," kata Eiji.

"Hahaha, biasa saja. Fujiwara-san juga suka kepadaku salah satunya karena aku bisa memasak," kataku.

"Tapi jujur, memang aku setuju kebanyakan cewek lebih suka ama cowok yang bisa memasak. Makanya banyak chef yang punya istri cantik-cantik."

"Wah, Eiji-san. Jangan-jangan kamu juga ingin jadi chef?"

"Hahahaha, memang sih. Aku ingin bisa jadi chef. Ni-san suka dengan masakanku, bahkan teman-temannya juga memuji masakanku."

Pagi itu kami hangatkan suasana sambil berbicara tentang cita-cita Eiji. Eiji bicara banyak tentang keseharian dirinya, bahkan untuk beberapa saat kami tidak membahas tentang Keiko-chan terlebih dulu. Sampai setelah selesai sarapan, Eiji tiba-tiba memberikan kabar yang mengejutkan.

"Kita sudah tahu siapa yang membawa dompetmu, Fahmi-san," katanya.

"Hontou?"

"Dia sekarang sedang berada di kantor polisi. Kamu mau ikut?"

"Iyalah!"

* * * 

Masih menggunakan JR Pass, aku bisa menaiki kereta Yamanote Line secara gratis untuk menuju ke Shibuya. Di Shibuya kami langsung menuju ke kantor polisi di mana Ando-san, kakaknya Eiji-san bekerja. Hari ini sibuk. Aku bisa melihat orang-orang berlalu lalang di trotoar maupun stasiun. Jarang sekali aku melihat kendaraan pribadi yang melintas di jalan raya.

Dari Ikebukuro, berjejal di dalam kereta listrik monorail hingga akhirnya kembali ke Shibuya. Di sini aku kembali menemui Ando-san. Kantor polisi itu ada yang berbeda. Ada seseorang yang berada di sana. Kami tak kenal dengan orang itu.

"Dare?" tanya Eiji kepada kakaknya.

"Dia bernama Enba," jawab Ando-san.

"Enba?" gumamku.

"Iya, dia yang mencopet dompetnya Fahmi-san kemarin. Sekarang dia mengembalikannya," kata Ando-san.

"Ah, Fahmi-san. Gomenasai!" tiba-tiba orang yang disebut Enba ini membungkuk bahkan sampai bersujud. Artinya ia sangat bersalah dan meminta maaf yang sedalam-dalamnya. Enba ini masih muda, mungkin usianya sekitar belasan tahun. Apa yang mendasarinya melakukan hal itu?

"Memangnya kenapa engkau melakukan hal itu?" tanyaku.

"Akan aku ceritakan. Sebenarnya aku kemarin butuh uang untuk obat haha. Sedangkan kami tak punya uang. Haha sedang sakit, dia butuh obat. Aku berdo'a di Kuil Meiji saat itu untuk kesembuhan ibuku. Saat itu secara tak sengaja aku melihat Fahmi-san yang dompetnya tampak menyembul dari celananya. Saat itulah aku berpikir bahwa ini kesempatanku untuk mencopet dompet itu. Akhirnya aku mencurinya.

Mengejar ShinkansenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang