Sharing

647 35 0
                                    

Maukah kau menjadi nakama-ku?


Fujiwara Keiko. Aku memanggilnya Keiko-chan. Lucu juga menunggu dia online. Baru kali ini aku menunggu seorang cewek untuk online. Tahukah kamu apa hal yang membuat seorang cowok itu galau? Jawabnya adalah wanita. Ya, selalu wanita. Terkadang juga wanita itu menyebalkan, terkadang juga wanita itu menyenangkan. Terus terang, berteman dengan orang jarak jauh itu menyenangkan apalagi dia adalah cewek Jepang. Menurut berita di salah satu situs terkemuka di Indonesia, cewek Jepang lebih ingin menikah dengan orang Indonesia. Entah benar atau tidak, tapi aku merasa geli saja mendengarnya.

Ah, ayah dan ibu belum pulang. Tak ada kabar dari Keiko-chan. Dia masih off. Aku bingung sekarang, apakah aku akan langsung saja bilang "Keiko-chan Daisuki". AARRGGGHH! Itu tidak mungkin. Kami baru kenal. Lagian... tak secepat itu kan aku bilang suka ama dia? Aku menatap layar laptopku. Sudah seharian ini aku berada di kamar, tidak keluar mencari udara segar. Mungkin ada baiknya aku jalan-jalan saja dari pada di kamar.

Hari masih sore waktu itu. Setelah aku mandi, aku pun segera pergi keluar rumah. Kubawa ranselku, kumasukkan beberapa buku komik dan novel ke dalamnya. Setelah itu aku pun keluar.

"Mau kemana?" tanya mbak Nurul.

"Cari cewek," jawabku ketus.

"Hahahahahaha,.. ya ya ya, good luck!" mbak Nurul ketawa sambil mengejekku.

Sebenarnya aku bodoh menerima taruhan itu. Aku toh kalau kalah nggak masalah. Jadi tukang bersih-bersih rumah selama sebulan nggak buruk koq. Toh selama ini aku yang banyak kerja di rumah. Mbak Nurul orangnya pemalas. Dari segala pekerjaan rumah tangga, mbak Nurul itu hanya bisa masak. Hmm...iya juga sih, keluarga kami orangnya bisa masak semua. Mungkin suatu saat nanti kalau ada Master Cheff aku ingin ikut hihihihi..

Naik angkot ataukah jalan kaki? Hmm... aku lebih pilih naik angkot sebenarnya, tapi entah kenapa hari itu aku berubah pikiran. Aku melihat garasi rumah. Di sana ada sebuah sepeda yang teronggok. Sepeda bermerk Raleigh ini sudah lama tidak dipakai. Bahannya aluminium jadi tahan karat. Tapi... ya itu tadi dekil, bannya juga kempes. Semenjak aku kuliah, aku tak pernah lagi memakainya. Dulu waktu masih SMA aku selalu memakainya, tapi semenjak kuliah...hhmmm tidak. Salah satu alasannya adalah pertama karena aku minder. Semua teman-temanku memakai sepeda motor. Kedua, aku takut jadi perhatian tahu sendirilah nggak pede. Ketiga, ayahku yang memintaku untuk naik angkot saja. Kalau kepengen naik sepeda ya naik aja tapi jangan buat ke kampus. Alasannya adalah agar aku bisa merasakan bagaimana bergelut dengan jalanan, melihat orang-orang di jalan, menyapa mereka, berinteraksi dengan semua orang. Pemikirannya boleh juga sebenarnya, intinya agar aku bisa berinteraksi dengan semua orang. Dengan cara inilah aku jadi kenal dengan banyak orang.

Aku pun mengambil pompa sepeda yang ada di garasi kemudian mulai memompa sepeda itu. Pelan-pelan angin pun masuk ke dalam ban sepeda yang kempes. Kupastikan kedua ban itu benar-benar keras agar bisa kunaiki. Setelah itu aku pun mengeluarkannya dari garasi. Sepedaku pun aku kayuh. Sudah lama nggak memakai sepeda membuat kakiku jadi lelah mengayuh. Salahku juga sih nggak lama berolah raga. Baru sampai satu kilo saja aku sudah ngos-ngosan. Tapi cukup senang karena aku melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Langit sore hari yang indah. Matahari mulai tenggelam di balik gunung, sinarnya membias di langit dengan cahaya berwarna kuning keemasan, mega merah pun mulai ada di langit.

Ada kebiasaan buruk. Mungkin bolehlah aku sebut buruk, tapi sebagian orang mengatakan kebiasaanku tidak buruk. Bahkan baik. Aku sekali pun niatnya jalan-jalan tapi tetap saja berhenti di perpustakaan. Aku sendiri heran bagaimana tubuhku bisa menyetirku sampai di depan Perpustakaan Daerah yang ada di Jalan Semeru dekat dengan Jalan Ijen. Mentang-mentang aku kutu buku dan nerd maka seenaknya tubuhku ini menjadi autopilot.

Mengejar ShinkansenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang