Cahaya yang meredup
Kabut masih tebal memburamkan mata, pagi ini langit mendung seperti tak ada cahaya, padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Suasana rumah masih sepi. Mama masih menunggu papa di rumah sakit bersama kakak perempuanku, Rasya. Aku di rumah hanya bertiga bersama Kak Fadly, Kakak sulungku, dan Alisya adikku. Memang, sejak 2 minggu lalu rumah selalu sepi, setiap anggota keluarga selalu bergantian menjaga papa di rumah sakit. Penyakit jantung papa yang kambuh lagi membuat papa di haruskan untuk dirawat di rumah sakit.
"Keisya ...!" teriak Kak Fadly dari arah ruang makan.
Aku yang sedang membereskan buku pelajaran hari ini pun terpaksa menghampirinya, aku takut ada hal penting yang ingin Kak Fadly ucapkan padaku, sebab tak biasanya ia berteriak seperti ini. kak Fadly terlihat sudah sangat rapi mengenakan kemaja biru mudanya. Ia terlihat seperti ingin berpergian.
"Iya Kak?"
"Hari ini Kakak bikinin surat izin ke sekolah, tadi kakak udah titipin ke Noella. Kakak juga udah telpon Bu Resna kok" tegas kakakku.
Lho Kok aku di bikinin surat izin segala? Mau apa sih kak Fadly? Sampai menelpon wali kelasku juga? Batinku."Mau apa Kak?" mataku seakan penuh tanya. Lagi pula aku tak biasa membolos sekolah. Biasanya jika ada acara keluarga pun aku lebih memilih tak ikut acara tersebut daripada harus absen sekolah.
"Sekarang kamu ikut Kakak! Kakak ambil kunci mobil dulu" Kakakku melangkahkan kakinya, kemudian ia membalikan lagi badannya "Oh iya, Kei, Alisya udah berangkat sama Nenek tadi. Kakak juga udah kirim surat ke sekolah Alisya" Kakakku kembali membalikkan badannya dan berlalu begitu saja, padahal aku belum sempat menjawab apapun.
Aku hanya menggelengkan kepalaku dan duduk di kursi meja makan.
Tak lama Kakakku kembali menghampiriku .
"Yuk!" ajak Kak Fadly.
"Kemana sih kak?"
Kak Fadly tak menghiraukan perkataanku, ia terus berjalan ke arah garasi.
"Cepet naik!" perintah Kak Fadly yang sudah lebih dulu masuk ke mobil.
Aku terus memandang wajah Kakakku ini "Mau kemana Kak? Sampe Keisya harus izin sekolah segala"
"Bisa diem gak?!" Kak Fadly yang sedang konsentasi menyetir tiba- tiba membentakku, tak biasanya ia begini.
Bulir-bulir bening sudah terkumpul di sudut mataku, aku seperti sudah tak sanggup lagi untuk menahannya.
"Kak?" aku berbicara dengan nada lirih.
"Kei?" Kak Fadly terlihat terkejut melihat wajahku yang sudah di penuhi air mata "jangan nangis, kenapa? Udah jangan cengeng de" Kak Fadly menghapus air mata di pipiku.
Aku hanya bisa terdiam sambil terus memandang wajahnya, keheningan terjadi begitu saja. Tak ada satupun suara di dalam mobil ini, hanya terdengar suara mesin mobil yang kami kendarai dan suara kendaraan-kendaraan lain di jalanan.
***
Mama terlihat sedang menyenderkan tubuhnya pada dinding dan menutupi wajahnya, di lorong rumah sakit ini. Dari kejauhan mama tampak biasa-biasa saja, disamping mama juga terdapat kak Rasya, kakak perempuanku ini tampak pucat meski dari kejauhan. Aku dan kak Fadly segera menghampiri mama dan kak Rasya. Aku sangat merasa khawatir, aku takut sesuatu yang tak aku harapkan terjadi.
"Mam?" aku memegang tangan mama dan berdiri disampingnya, aku merasakan suhu tubuh mama meningkat, "Kok badannya panas Mam?" lagi-lagi pertanyaan terlontar dari bibirku ini.
Mama perlahan membuka tangan yang menutupi wajahnya, terlihat Mama dengan mata sembab dan wajah yang pucat "Kei..." Mama meneteskan air matanya, yang memang sedari tadi sudah mengalir di wajahnya.
"Mama kenapa? oh iya, Alisya sama nenek mana?"
Mama tak menjawab pertanyaanku walaupun hanya satu kata, ia hanya menarik tanganku dan Kak Fadly ke dalam kamar tempat papa di rawat.
"Papa..." aku tak kuat menahan air mataku, aku rindu Papa. Aku kemudian mendekat ke arahnya.
Tubuh Papa terlihat sangat pucat dan lemas, kelopak matanya terlihat sangat berat untuk di buka. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi menyaksikan Papa sekarang ini.
Nutttt....
Suara alat pendeteksi kerja jantung papa yang mulai menunjukan garis lurusnya, mata Papa kini tertutup rapat, derai tangis mulai terdengar, membuat riuh ruangan ini.
Papaaa.. aku hanya bisa berteriak dalam hati, hanya air mata yang mampu berbicara. Seperti sungai, air mata ini terlalu deras, aku tak bisa menahannya. Perlahan aku mulai menyadari sosok Papa kini telah pergi. Belum sempat aku melepas rindu yang begitu mencengkram ini.
Tapi, kini sosok tegas itu telah terbaring kaku tanpa daya. Bahkan aku tak percaya bahwa ini nyata. Jangan pergi Papaa..
Seolah-olah ini hanya sebuah mimpi buruk, aku tak ingin ini terjadi. Kini Papa telah meninggalkan aku, kita, kami semua. Aku tak sanggup untuk menyembunyikan perasaan sedihku ini. Bagaimana aku bisa tegar, sosok tegas ini telah membimbingku, mengajariku, menyayangiku, menjagaku, memberiku semangat, berjuang untuk kehidupanku, tak pernah lelah dengan semua yang ia lakukan untukku. Tapi, belum sempat aku membalas semuanya, kini ia telah pergi.
***
Acara pemakaman Papa sudah selesai, tetapi Mama tetap tak mau pergi dari tempat peristirahatan terakhir Papa ini. Matanya terus dibanjiri air mata yang deras, mulutnya seperti tak mampu berbicara pada dunia bahwa ia sangat amat merasa kehilangan, hingga sang matapun terpaksa terus berbicara.
"Mam, ayo pulang" ajak kak Rasya sambil terus merangkul mama. kak Rasya sangat tak tega melihat mama seperti ini.
"iya Mam, ayo kita pulang. Papa udah bahagia di alam sana" tambah kak Fadly.
Aku hanya mampu menangis, mengingat sosok papa yang sering menuruti inginku ini harus terbaring sendiri di bawah tanah ini, bersama sepi yang sangat nyata.
"Mam, kalo mau nurutin keinginan hati, Rasya juga gak akan pergi dari sini. Karena Rasya gak mau kehilangan Papa, tapi Rasya harus tegar. Ingat mam kata ustadz Ahmad, bahwa kita harus mengikhlaskan kepergian siapapun, karena suatu saat, kitalah yang akan pergi" kak Rasya mencoba menguatkan Mama.
"Karena yang ada pasti tiada pada akhirnya." tambah kak Fadly.
Mama seperti tak menghiraukannya, Mama terus menangis dan tak mau pergi dari tempat ini, tapi kak Fadly dan kak Rasya akan terus membujuk sampai mama mau meninggalkan tempat ini. Karena kita tak mau melihat Mama terus sedih dan menangis.
"Jangan nangis Mam, ada Alisya" celoteh Alisya.
Mama mengusap Alisya menghampiri Mama dan memeluknya "Mama jangan nangis ya, papa kasian kalo di tangisin terus, papa gak pergi kemana-mana kok.
Papa kan tinggal disini sekarang" celotehnya.
Mama hanya tersenyum membisu mendengar ucapan malaikat kecilnya itu.
"Mama dengarkan, Alisya aja ikhlas Mam" ucap kak Fadly.
Mama melirik ke arah kak Fadly, kemudian ia memegang batu nisan tempat Papa berbaring di bawahnya dengan erat, matanya terpejam, mungkin ada yang Mama sampaikan pada Papa.
"Yuk Mam!" Aku mengulurkan tanganku pada Mama.
Mama berdiri dan matanya tetap tertuju pada batu nisan Papa. Aku dan kakak-kakakku beserta adikku melangkah, mama mengikuti langkah kami. Kini kita kembali ke rumah, walaupun sekarang kita sudah tak seperti dulu. Papa kini telah pergi, selamat tinggal papa...
Cahaya yang dulu sangat terang, kini meredup. Kini mendung menghiasi langit yang dulu sangat biru. Miliyaran bulir-bulir air hujan turun membasahi bumi. Semua itu menggambarkan perasaan kami sekarang. Bagaikan tersambar petir di teriknya sinar mentari, papa kini telah pergi. Tak ada lagi sosok yang akan menjadi kepala keluarga di rumah kami. Tapi di balik kelamnya hari ini, Allah pasti akan memberi kecerian dan kebahagiaan seutuhnya di hari esok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berawal Dari Hanya Kagum
RandomAwalnya Keisya hanya berteman biasa dengan Rangga