"Semenjak mama ke Surabaya, kita kan gak pernah masak. Jadi wajar aja kalo gak ada makanan. Lagian udah 2 hari mama di Surabaya," kak Rasya memutar tutup botol air mineralnya, "Dalem kulkas juga udah pada abis, Kei" lanjutnya, ia kemudian meneguk air mineral dari botolnya.
Aku menghela nafas dan berlalu menuju kamar.
Aku membaringkan tubuhku yang lemas ini ke atas tempat tidurku, mataku menatap kosong langit-langit kamar. Inilah yang aku takuti selama ini, kepergian mama memang membuat kita bebas, tapi kita juga merasa seperti tak terurus.
Sekarang tak ada lagi bawelan mama yang menyuruh makan sepulang sekolah, sekarang tak ada lagi bawelan mama yang menyuruh shalat, sekarang gak ada lagi yang teriak-teriak menyuruh belajar, sekarang gak ada lagi yang marah-marah kalo aku dan kak Rasya pulang malam, dan hal-hal ini yang membuat aku sangat merasa kehilangan mama.
Biasanya sepulang sekolah, aku selalu dibuatkan es jus atau es teh oleh mama, tapi sekarang? Mama, Keisya rindu hal itu. Keisya juga kangen saat-saat Kei di marahin mama karena malas beresin kamar, Kei juga kangen disuruh makan sama mama, Kei kangen semua itu mam. celotehku dalam hati.
Jujur, aku belum terbiasa dengan semua ini. aku masih perlu belajar banyak agar bisa mandiri sepenuhnya. Tapi aku harus terbiasa, karena hal ini akan terus berlanjut sampai nanti. Aku harus terbiasa mengurus rumah dan, terutama diriku sendiri, karena mama sedang berjuang diluar sana, mama rela berjuang demi anak-anaknya.
Mama memang ibu hebat, karena semanjak papa meninggal, mama mempunyai profesi baru yaitu, tulang punggung keluarga. Aku harus terbiasa ditinggal mama, karena mama melakukan itu semua demi anak- anaknya.
Perasaan yang tak bisa dijelaskan
Aku menatap jam weker yang berada disampingku, aku selalu memperhatikan setiap detik-detik yang perlahan mengubah posisi jarum panjang ini. sudah hampir setengah jam aku seperti ini. aku menunggu kabar dari Rangga hari ini.
Tingnung...
Bunyi ponselku, aku segera meraihnya dan membuka aplikasi BBM- ku, "Cuma broad cast ternyata." Aku menatap kecewa pada ponselku
Kemana Rangga? Kenapa sampai sekarang ia belum memberiku kabar? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai memenuhi otakku, aku merasakan sesak yang begitu nyata ketika meihat pembaruan yang masuk dari Rangga, tapi kenapa dia tidak menghubungiku. Apa jangan- jangan ia bosan? Atau mungkin ia lelah? Pikiranku jauh berkelana ke segela arah
Tanpa disadari, air mataku perlahan terjatuh dari pipiku ini, meninggalkan bekas basah dalam pipiku. Aku merasa sangat serba salah dengan perasaan ini, karena aku tak bisa seenak hati untuk menghubunginya duluan. Rasanya, aku memang tak pantas untuk memulai duluan.
Tapi rasa khawatirku semakin memuncak, namun sayangnya...
untuk sekedar mengecek BBM ia aktif atau tidak, aku gak berhak
Aku menaruh ponselku di atas meja di samping tempat tidurku, aku mengambil buku harianku dari laci meja belajarku dan mulai menulis perasaanku hari ini
"Dear you... aku selalu merasa kamu memiliki sebuah rasa lebih padaku, hal ini yang membuatku merasa punya kesempatan untuk berharap. Aku selalu mengingat setiap moment saat kita bersama, dan bodohnya lagi, aku selalu memutar lagu-lagu kesukaanmu, padahal aku telah berkomitmen pada hatiku sendiri, untuk menjauh dari kamu, tapi semua itu selalu sia-sia. Karena pada dasarnya, perasaan ini telah bertambah banyak dan membuatku lupa bahwa kita hanya sebatas 'teman' . pokoknya aku benci perasaan ini."
Tanganku menulis semua kata-kata ini tanpa aku suruh. Semuanya mengalir begitu saja bersama air mata yang terus menetes dari pelupuk mataku. Rasanya, sekarang aku sangat lega setelah ku tumpahkan semua perasaanku ini pada selembar kertas ini.
Inilah alasan mengapa aku menyukai pena dan kertas, karena aku bisa menumpahkan semua perasaan dalam hatiku, tanpa perlu merasa khawatir hal ini akan di ketahui oleh banyak orang. Ini lebih baik dari pada aku harus mengakuinya dihadapan teman-temanku
Pena dan kertas adalah sahabatku, yang siap menampung semua ceritaku tanpa lelah. Hanya pena dan kertas yang tak akan pernah memprotes sekalipun aku mengeluh. Setiap goresan pena dalam lembar- lembar kertas ini adalah bukti nyata perasaanku yang tak sanggup untuk aku nyatakan pada setiap orang
Karena aku tak sanggup untuk mengatakan langsung padanya, jadi aku hanya bisa melukiskan semuanya pada kertas ini
Setelah menyadari waktu telah menunjukkan pukul 22.00 aku segera menutup buku harianku dan memasukannya kembali pada laci. Aku kemudian menatap lirih ke arah ponselku, mengingat hari ini tak ada kabar darinya. Biasanya ia tak pernah melewatkan satu malam pun untuk chat denganku. Tapi... mungkin dia capek
***
Jam pelajaran pertama sampai ketiga hari ini kosong, karena Bu Marin ada acara keluarga, dan ia tidak meninggalkan tugas untuk kami. Mengetahui hal ini semua murid di kelas ribut, suasana ruang kelas sangat riuh. Ada yang asik dengan bergosip, ada yang sedang mengerjakan PRnya yang belum sempat dikerjakan, bahkan ada yang sedang menghabiskan makanan mereka yang belum habis saat jam pelajaran pertama berbunyi. Sementara Aku, Sindy, Noella, dan Chika sedang asik membicarakan masa-masa SD kami.
"Eh, Kei, waktu SD kamu deket sama siapa? Cowok lho ya ..."
Noella menggodaku untuk menceritakan masa-masa SD-ku, terlebih ia selalu 'kepo' dengan segela sesuatu yang belum ia ketahui, dan mirisnya, sekarang aku kena 'kepo'-an dia
Aku berfikir sejenak, "Siapa ya ... Rizky, bukan. Aprilio, biasa aja. nah ... Dion!" aku tersenyum lebar dan perlahan tertawa ringan
"Ciye ...!" goda Chika sambil memainkan alisnya
Aku mendengus kesal, "Apaan sih. Katanya disuruh bilang siapa yang deket sama aku, lagian ini tuh bukan suka!"
Mereka tertawa lepas mendengar celotehanku. Apa ada yang lucu? Aku menghela nafas
Tapi tak berangsur lama kita mulai bercerita biasa lagi, dan topik pembicaraan kita kali ini adalah 'laki-laki sempurna' . entah kenapa aku selalu ingin menoleh ke arah Rangga yang berada di belakangku, tepatnya tempat duduknya dan tempat dudukku hanya terhalang oleh satu meja. Aku menoleh ke arahnya di tengah-tengah obrolanku, tapi saat mataku menemui matanya, aku segera menoleh lagi ke arah teman- temanku. Apa dia sedang memperhatikanku? Darahku seakan membeku seketika.
bayangkan saja jika kamu melirik ke arah orang yang kamu suka dan kagumi, dan pada saat itu juga kamu mempergoki kedua matanya sedang tertuju padamu. Menurutku ini lebih dari sekedar jatuh dari atas atap rumah
Perasaan yang mengalir ini seakan membeku di dadaku, ia membuatku merasa sesak dan ingin menceritakan semua ini pada buku harianku.
Lelaki ini dimataku terlalu sempurna, bagaimana tidak? satu, dia rajin, dua, dia anaknya baik, tiga, shaleh, empat, perhatian, lima, pengertian, enam, selalu bisa membuat orang yang disekitarnya merasa nyaman, tujuh... udah ah cape kalo aku ceritain semuanya. Pokoknya dia punya 1001 kelebihan dimataku yang gak bisa aku sebutin satu-satu
Bagi siapapun perempuan yang mengenalnya pasti akan mengaguminya. Karena banyak sifatnya yang membuat perempuan mengatakan bahwa ia sempurna. Beruntung sekali bagi perempuan yang ada dihatinya,dan betapa bahagianya jika 'aku' yang ada dihatinya.
"Sekarang giliran Keisya yang cerita!" suara cempreng Sindy menyadarkanku dari lamunanku.
Aku yang belum sepenuhnya sadar dari lamunanku hanya bisa menatap kosong kearah Sindy,
"Ayo, Kei ..." suruh Noella
"Ngapain?" tanyaku polos, "Ke kantin? Males ah, takut tiba-tiba ada guru." Lanjutku,
Mereka tertawa mendengar jawabanku, dan lagi-lagi aku hanya mampu menghela nafas
"Gak nyambung bener!" Sindy melanjutkan tawanya yang sempat terhenti,
"Disuruh cerita tentang lelaki sempurna versi dia, eh malah jawab ke kantin. Siapa lagi yang ngajak ke kantin" Noella menertawakanku lebih heboh
Setelah tahu penyebab mereka tertawa adalah karena jawabanku yang gak nyambung, wajahku memerah, rasa malu menghantuiku. Inilah sebabnya jika aku sedang memikirkan Rangga, pasti aku selalu gak nyambung sama obrolan teman-temanku. Mungkin aku memang harus membuang perasaan aneh ini dari otak dan hatiku.
***