Raina sedang memakai baju seragamnya ketika suara pecahan sesuatu terdengar dari lantai bawah, cepat-cepat ia memasang 2 kancing seragam paling bawah dan turun menuruni tangga tanpa memperdulikan rambutnya yang belum di sisir. Menuju dapur, ia melihat ibunya yang sedang terduduk di ujung meja makan sambil kesakitan, di sekitarnya pecahan piring tergeletak membuat ia cepat-cepat menghampiri Ibunya itu.
"Mah? Kenapa?" Mendekati ibunya, Raina memperhatikan Ibunya yang pucat sekali, "Bi!!!" Raina berteriak berusaha memanggil pembantunya itu.
"Rain.. Bibi lagi gak ada." Ucap mamahnya dengan susah payah, Raina semakin panik. "Telfon papa." Lanjut Ibunya.
Mendengar nama papa nya disebut, Raina malah menggeleng, air matanya sudah ingin tumpah melihat keadaan Ibunya, kenapa disaat keadaan begini, ibunya malah membutuhkan laki-laki tidak berguna itu?
"Ke..napa?" Cicit Raina, menggeleng. "Raina panggil ambulans!"
"Raina!!" Ibunya membentak membuat Raina tidak bisa menolak. Ia mengambil handphone ibunya, dan langsung menelfon ayahnya. Tidak ada pilihan lagi jika ia tidak ingin Ibu nya kenapa-napa.
*
Raina telat! Sudah 10 menit yang lalu bel berbunyi tanda masuk, tetapi ia sedang berlari di koridor yang sepi sekarang. Setelah mengurusi Ibunya, ayahnya datang dengan cepat. Karena hal itu pula Raina telat sekarang. Ia mendengar samar-samar suara Pak Amar- guru matematika nya yang killer itu.
Mampus deh gue! Batinnya dalam hati.
Raina mendengar suara gebrakan di papan tulis dari dalam. "Tugas individu yang minggu kemaren kumpulkan!! Bapak tidak mau mendengar alasan tidak berguna semacam itu, jika tidak hukuman-"
Raina bergidik ngeri, tidak mendengar lagi. Tanpa sadar ia melangkah menjauh dari kelasnya sekarang. Boro-boro mengerjakan tugas! Peristiwa kemarin membuat ia langsung tertidur karena lelah. Setelah pulang sekolah, sepanjang sore sampai malam Ibunya terus membujuk Raina agar mau ikut makan malam keluarga yang jelas ditolak Raina, membuat ia harus berdebat panjang dengan Ibunya yang akhirnya tidak bisa diganggu gugat. Raina tidak akan pernah dan tidak akan mau.
Raina melangkah menuju ke arah kantin yang sepi, hanya diisi beberapa anak yang jam pelajaran pertamanya kosong. How lucky.
Mengambil meja paling pojok, gadis itu memesan Jus Alpukat dan beberapa gorengan, tadi ia tidak sempat sarapan.
Ia membuka HP nya, yang langsung dipenuhi dengan notifikasi masuk chat Line yang kebanyakan dari Gisel, teman sebangkunya itu. Tidak berniat membalas satu chatpun, ia membuka aplikasi instagram, yang jarang dibukanya itu. Tidak ada yang menarik.
Suara tarikan kursi dari depan mejanya membuat Raina mendongkak, menatap siapa orang yang berani duduk disitu ketika meja kosong masih terbilang banyak.
Ravan menaikan sebelah alisnya ketika Raina menatapnya terkejut. Selalu seperti itu. Tanpa merasa malu, ia mengambil jus alpukat yang masih tersisa banyak di atas meja.
"Ih itu punya gue!" Raina memekik ketika Ravan dengan santai meminum jus alpukat yang ia pesan tadi.
Cowok itu mengabaikan, lalu memperhatikan ada yang beda dari wajah Raina. "Mata lo kenapa?" Tanya Ravan tiba-tiba.
Raina mengerutkan dahinya, dan seketika teringat bahwa tadi malam ia habiskan untuk menangis karena lelah berdebat terus menerus dengan Ibunya. Di satu sisi, ia ingin menurut pada Ibunya, tetapi di sisi lain ia tidak mau hidupnya berhubungan dengan Ayahnya lagi. Raina bukan anak durhaka yang tidak menurut atau tiba-tiba membenci Ayahnya. Raina punya alasan.
"Woy!" Pekikan Ravan membuat ia langsung sadar dari pikirannya sendiri. "Lo tuh budeg apa gimana? Ditanya malah bengong kayak orang bego gitu."
"Apasih?!" Raina menyolot tidak terima.

KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER RAIN
Teen FictionBagaimana jika ini semua bukan tentang apa yang dia katakan atau apa yang dia lakukan? Bagaimana jika ini semua adalah tentang perasaan yang berjalan begitu saja sejak pertama kali mata mereka bersitatap? 15+