Bagian 17

7.2K 448 9
                                    

Dari dekat Martin bisa dengan jelas menatap wajah keibuan wanita setengah baya berkulit putih itu.

"Udah lama. Misael?" tanya wanita itu lembut waktu misael mencium punggung tangannya.

"Lumayan, bu. Deni lagi diperiksa, habis itu mandi." Misael menarik kursi untuk ibunya tepat di depan Martin yang berdiri tegang.

"Oh, ibu, ini Martin."

Mata lembut wanita itu menatap Martin sampai Martin salah tingkah. Apalagi tangan kanannya mustahil dipakai salaman.

"Salaman sama dia pake tangan kiri, bu. Tangan kanannya masih digips. Patah." jelas Misael.

Ada guratan kerut waktu wanita itu tersenyum lagi. Kali ini senyumanya pasti buat Martin. Bukannya mengulurkan tangan kirinya seperti saran Misael, ibu malah mendekati Martin, tangannya bergerak ke arah kepala, lalu membelai lembut rambut Martin.

"Syukur alhamdullilah kamu kelihatan udah sehat ya." katanya dengan suaranya yang sejuk.

Martin mematung. Kenapa dia ketakutan mau ketemu wanita sebaik ini?

"Lumayan, tante. Cuma masih dalam pantauan dokter aja."

"Panggil ibu aja. Ibu lega kamu sudah sadar. Beberapa hari yang lalu Ibu sempat tanya ke dokter Herman mengenai keadaan kamu. Waktu itu kamu belum sadar."

Dia bersyukur dan senang karena Martin sudah sadar dan membaik, sementara anaknya sendiri masih terbaring koma. Biar baru kali ini ketemu, rasanya Martin sudah begitu dekat dengan beliau.

"Makasih ibu merhatiin saya." ujar Martin, bingung mau ngomong apa.

"Eh, kalian sudah pada makan? Ibu bawa pastel. Buatan Tatik, pegawai di toko." ibu Misael mengeluarkan Tupperware kecil dari kantong yang dia bawa.

"Pastel buatan dia enak lho."

Martin yakin hati wanita ini pasti hancur lebur anak bungsungnya koma tak sadarakan diri, tapi berusaha tegar. Kenapa Martin nggak bisa?

"Kami udah makan, bu." Jawab Misael.

"Coba deh, Tin, enak banget lho. Tapi pake tisu, ntar kamu bisa kena pukul ibu, soalnya katanya tangan nggak bersih." Misael mendorong Tupperware ke arah Martin sambil tersenyum.

"Ayo, Martin, cobain. Si Tatik itu emang pinter banget masak. Ibu jamin enak deh." lalu beliau memelankan volume suaranya. "Ibu janji nggak bilang-bilang dokter Herman."

Mau tak mau Martin cekikikan, lalu mencomot sepotong pastel.

"Ah, ibu, dokter Herman udah ngebebasin aku mau makan apa aja."

Beliau tersenyum lembut.

"Kalau begitu kamu harus makan lebih dari satu."

"Aku gimana, bu?" celetuk Misael.

Ibunya mendelik.

"Kamu justru harus ibu cegah biar nggak ngambil kebanyakan".

Martin terkekeh geli. Tegar banget ibu ini. Misael juga pengertian banget menghadapi ibunya. Keluarga Martin memang normal, tapi dia nggak pernah seakrab ini sama Mami atau Papi.

"Ibu buka toko apa?" tanya Martin.

"Toko baju muslim. Yaaah... kecil-kecilan. Ibu mengontrak kios di Pasar Baru."

Martin mengangguk. Beliau betul-betul wanita hebat. Sama sekali nggak ada rasa canggung menghadapi Martin, membuat Martin merasa nyaman berada di dekat beliau.

Misael melirik jam tangannya.

"Kita balik ke atas, sekarang. Biasanya jam segini udah beres."

*******

Cinta Yang Tidak SemestinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang