Bagian 8

9K 593 10
                                    

Martin menimang-nimang ponselnya. Membaca sms itu berulang-ulang. Sejak masuk ke inbox-nya semalam. SMS itu sama sekali belum dibalasnya. Bukannya nggak mau, tapi Martin sama sekali nggak tahu harus balas apa. Isi kepalanya langsung blank begitu membaca kata demi kata SMS itu.

"Tin, si nenek telepon tuh." tiba-tiba pundak Martin ditepuk David dari belakang. Martin menekan line telepon.

"Ya?"

"Martin, saya ada urusan ke Jepang, berangkat siang ini. Mungkin saya akan lama di sana. Kontrak yang kemarin kita bicarakan bisa kamu selesaikan dengan wakil saya, namanya Rudi. Sudah saya jelaskan semuanya, kamu tinggal bawa ke sini kontraknya. Rudi akan langsung tanda tangan supaya dananya bisa langsung ditransfer." ujar Mrs. Shinaya panjang-lebar.

Mata martin bersinar-sinar senang. Yes! Berarti dia nggak harus berurusan sama si nenek tua itu.

"Baik Mrs. Shinaya, nanti saya hubungi pak Rudi. Hati-hati di perjalanan." Ujar Martin sok perhatian. Sponsor kelas kakap gitu...

"Terima kasih. Ngomong-ngomong, maafkan kelancangan saya selama ini."

"Hah?"

"Ya, saya memang suka sama kamu dan sempat menginginkan kamu jadi suami saya..."

Nah lho, kok minta maafnya kayak pesan terakhir gini? Jangan-jangan si nenek feeling mau mati lagi.

"Saya akan menikah di Jepang." kata si nenek sebelum Martin sempat nekat menghentikan si nenek pergi ke Jepang karena takut pesawatnya jatuh.

"Me-menikah?"

BUSYET!

"Ya... saya akan menikah dengan pria jepang yang saya kenal lewat internet. Dia tidak setampan kamu, tapi saya yakin dia bisa melayani saya."

UEK!!! Gilingan juga nih bangkotan satu. Kenal di internet langsung di ajak kawin! 'Melayani' dia? Melayani apa, coba? IHHH! – tapi, I'm free.

"Selamat, Mrs. Shinaya. Semoga berbahagia. Salam saya buat calon suami anda." Kata Martin akhirnya. Satu masalah lewaaat...

"Terima kasih, Martin."

"Sama-sama."

KLIK.

"Serius?!" pekik David histeris mendengar berita pernikahan si nenek tua.

"Ya iya lah. Ngapain juga gue ngomong-ngomong kalau bohong. Penting amat." Martin mengklik tombol print di komputernya. Kalau bukan si nenek, berarti nggak perlu dia yang ke sana.

"Gila juga ya. Pria gigolo gitu kali ya? mau aja gitu dikawinin nenek-nenek kenalan lewat internet." cibir David. "Jangan-jangan cowok web cam."

Martin angkat bahu.

"Tau. Terserah deh yaa. Yang penting gue bebaaassss..."

David nyengir.

"Iya sih. Selamat... selamat. Dapet proyek gratisan. Biarpun lo gagal dapet warisan."

"Sialan lo!"

David ngakak puas.

"Padahal gue pengin minta lo beliin gue apa kek, mobil kek..."

"Basi lo, Dav!"

David ngakak lagi.

"Nih!" martin menyodorkan surat kontraknya pada David.

"Lo ke kantor si nenek buyut itu ntar sore, pas dia udah berangkat. Temuin pak Rudi. Bilang ini dari gue."

David menatap Martin heran.

"Kok gue?"

"Lo nggak ada kerjaan, kan? Lagian si nenek udah nggak ada. Kan gue udah mengorbankan diri, sekarang lo selesein deh. Jadi gue bisa pulang cepat. Gue ada urusan. Urgent! Ya...?"

Cinta Yang Tidak SemestinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang