Bagian 15

8K 483 33
                                    

"Mau ngapain lo ke sini?"

Begitu mendengar suara Sazi, Martin langsung bisa menebak siapa yang datang. Buru-buru Martin bangkit dari duduknya dan melesat ke pintu depan. Tepat tebakannya!

"Martin..." Deni berdiri di ambang pintu, ditatap galak oleh mata Sazi.

"Kalian berdua emang kebangetan ya! mentang-mentang Mami sama Papi nggak ada, memangnya aku dianggep apa?! Terserah deh ya kalian mau ngapain di luaran sana, di belakangku, Mami dan Papi, tapi jangan bawa ke rumah dong!" kata-kata Sazi makin lama makin tajam. Amarahnya semakin lama juga semakin memuncak, bukannya mereda.

"Stop Saz! Lo jangan terus-terusan musuhin Martin. Dia itu kakak lo sendiri. Dan dia nggak salah apa-apa!" ujar Deni tegas.

Sazi kaget setengah mati. Deni yang biasanya diam karena merasa bersalah, sekarang berani melawan.

"Kakak yang mengkhianatin adiknya sendiri? Nggak salah apa-apa? Maksud lo? Jadi dia jadian sama lo nggak sadar, gitu? Lo hipnotis?" Sazi memuntahkan peluru-pelurunya.

Martin memantung. Diam di antara Deni dan Sazi.

"Ya bukan gitulah, Saz. Gue yang nyatain duluan. Gue yang suka sama Martin duluan. Gue yang ngajak dia jadian. Dia sama sekali nggak ada maksud mengkhianati lo kok. Dia selalu mikirn lo."

Sazi melotot menantang Deni.

"Oh ya? jadi, kalau lo yang nyatain kenapa? Tetap aja kan dia juga suka sama lo, makanya lo berdua bisa pacaran!"

Jantung Martin serasa copot waktu telunjuk Sazi mengacung ke arahnya. Kenapa sazi jadi beringas begini? Sebegitu sukanyakah dia pada Deni?

"Lagian... apa salahnya gue dan Martin saling suka?" kata Deni akhirnya.

Sazi terdiam.

Martin membeku.

Deni gemetar karena emosi.

Biar mulutnya bungkam, mata Sazi tetap menatap menantang mata Deni.

"Tapi... kalau memang dia mikirn gue, kalau memang kalian mikirin gue... kenapa kalian tega bohongi gue? Kenapa kalian tega ngelakuin ini di belakang gue? JAWAB!"

"Sazi... Deni... please..." suara Martin serak dan nyaris hilang.

Sazi berpaling menatap Martin.

"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Tin!" katanya pedas.

Martin menarik napas dalam-dalam. Memang. Dia nggak tahu. Tapi Sazi juga nggak tahu gimana rasanya jadi Martin.

"Gue ke sini juga Martin nggak tahu." ujar Deni tiba-tiba.

"Gue juga nggak mau gini terus. Sembunyi dari lo... ketakutan... padahal menurut gue, kami saling jatuh cinta sama sekali bukan kesalahan. Sori, Saz, gue pikir lo harus terima kenyataan ini. Maafin gue, maafin Martin."

Bibir Sazi gemetaran menahan tangis. Hidunganya kembang-kempis menahan emosi. Malah mendengus-dengus persis sapi jantan siap diadu.

"Gue nggak peduli!" desis Sazi marah. "Gue terlanjur sakit hati!"

Deni menatap Martin.

"Siap-siap gih, Tin, aku mau ngajak kamu jalan hari ini." Lalu Deni menatap Sazi.

"Gue minta izin ngajak kakak lo jalan. Gue nggak akan bohong – kami berdua nggak bakalan bohong lagi sama lo mulai sekarang."

Dengan kasar Sazi melengos, lalu pergi meninggalkan ruang depan.

********

Mobil Deni mundur pelan-pelan keluar dari pekarangan rumah Martin.

"Makasih bik Ipah..." ujar Martin sopan pada bik Ipah yang membukakan pagar dengan tampang bingung. Lho... kok Deni pergi sama Martin?

Cinta Yang Tidak SemestinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang