Bagian 16

8.1K 467 15
                                    

Pip... Pip... Pip...

ENGGHHH... suara apa sih? Kecil tapi berisik dan rasanya ada di dekat kuping Martin. Weker?!

Martin berusaha mengangkat tangan berniat melempar beker sialan itu. Orang lagi tidur, juga! Tapi aduh! Tangan Martin sakit banget. Boro-boro bergerak, baru niat aja tersiksanya minta ampun. Kepala sakit, kaki juga sakit. Bahkan punggung!

"Enggghhh..." Martin mengerang pelan.

"Enggghhh..." kali ini sambil berusaha membuka matanya yang berat.

Buram. Tapi Martin bisa mengenali sosok Mami, Sazi dan David.

"Martin sadar! Panggil suster, Saz! Panggil suster!" mata Mami kelihatan berlinang air mata. Martin pengen noleh kanan-kiri melihat keadaan, tapi semua bagian tubuhnya lemas dan sakit.

"Biar saya aja, tante." suara David menimpali.

"Martin... kamu bisa dengar kami?" wajah Sazi yang muncul di hadapan martin sembap dan masih berlinang air mata. Apa dia sudah memaafkan Martin?

"Maafin aku ya, Tin..."

Lho... kok dia yang minta maaf?

Suara derap kaki memasuki ruangan. Sekarang ada dua orang yang nggak Martin kenal. Satu laki-laki seumuran Papi, berkacamata, bermuka ramah. Dan satu lagi perempuan. Mungkin seumuran Martin, lebih tua sedikit. Semua pakai baju putih.

Tangan laki-laki itu membuka kelopak mata Martin dan mengarahkan senter kecil ke mata Martin.

"Auuuwhhh..." erang Martin parau.

"Syukurlah, bu, masa kritisnya sepertinya sudah berlalu." kata laki-laki itu yang langsung disambut hamburan kata 'Alhamdulillah' dan 'syukurlah' dari mulut Mami, Sazi dan David.

"Martin, ini Mami, sayang..." Mami mengusap-usap pipi Martin.

Susah payah Martin memandang Mami, Sazi dan David bergantian.

"Akku... di mmana, Mmiiii?"

Mami bukannya menjawab malah nangis. Sazi juga. Dia malah lebih histeris daripada Mami. Akhirnya David yang bersuara.

"Ini gue, tin. Lo kecelakaan mobil, inget?"

Ingatan Martin berputar-putar kacau. Kecelakaan mobil? Kapan? Dimana? Kok bisa? Kepala Martin langsung pening mendadak.

"Uggghhh..."

David mengusap rambut Martin.

"Jangan dipaksa. Biar kondisi lo pulih dulu. Nanti lo bisa tanya-tanya lagi." kata David lembut.

Tapi otak Martin nggak bisa berhenti mengingat-ingat. Kapan? Dimana? Kenapa? Kecelakaan apa? Kepala martin sakit luar biasa. Dia nggak tahan.

"AUGHHH! ENGGGHHH!!!" Martin mulai meracau kesakitan.

"Tin, tenang, Tin!" David menahan sebelah tangan Martin yang menggapai-gapai ke segala arah.

"Suster, tolong dipegang. Kita suntik obat penenang. Emosinya belum stabil." suara laki-laki yang sekarang Martin yakin adalah dokter, terdengar sayup-sayup di sela sakit kepalanya yang luar biasa.

NYIIIT! Jarum suntik menembus kulit Martin.

Sakit kepala itu mereda.

Menghilang.

Berganti kantuk. Dan gelap.

******

Dua hari kemudian...

Akhirnya Martin bisa duduk setelah dua hari di buat lemas karena sering mengamuk. Dia baru sadar tangan kirinya digips. Ada perban di dahinya, dan luka baret disekujur tubuhnya yang perihnya minta ampun.

Cinta Yang Tidak SemestinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang