I pick my poison and it's you. Nothing can kill me like you do.
(Rita Ora - Poison)
×××
Sabtu, 9 September 2808
Author POV
Biasanya, akhir pekan seperti ini, Fera akan tetap tidur di kamar sampai jam 12 siang. Tak peduli ada acara atau tidak. Tak peduli hujan atau panas terik. Tapi hari ini... entah, Fera bahkan tiba-tiba terbangun dari tidurnya pukul 8 dengan satu hal yang memenuhi pikirannya--sejak kemarin.
Dan hal itu adalah: malam minggu bersama Gensa.
Hanya karena sebuah 'malam minggu' yang dijanjikan Gensa.
Fera mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Harusnya gue seneng." Fera berkata pada dirinya sendiri. "Iya, gue seneng. Inget Fer, ini yang lo impiin dari dulu."
Dengan semangat yang mulai membara, Fera bangkit dari tempat tidurnya, lalu berkata, "Oke, Alexandra Ferandyl, lebih baik lo sekarang milih baju apa yang nanti mau lo pake. Inget, ini malming pertama lo," ucap Fera pada dirinya sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
Baru saja Fera ingin berjalan menuju lemari pakaiannya, getaran di handphonenya membuat ia terdiam sejenak lalu melihat notifikasi yang ada.
Ternyata line dari Gensa.
Ragensa Putra: cil..
Ragensa Putra: nanti gue jemput y
Ragensa Putra: kam 5
Ragensa Putra: *kam
Ragensa Putra: astaga tupo
Ragensa Putra: anjie
Ragensa Putra: intinya jam 5. biar pulangnya nanti ga kemaleman
Senyum Fera seketika mengembang saat membaca line dari Gensa. Memang tidak ada yang spesial dari pesan-yang-bertebaran-typo-itu, namun pesan itu sukses membuat keraguan Fera akan 'malam minggu' dengan Gensa musnah seketika.
×××
Di ruang tamunya, Fera menatap kearah televisi dengan tangannya yang tak henti-henti memencet remote.
"Ini gawat astaga," gumam Fera panik ketika melihat jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 16:45.
Keringat dingin perlahan mengalir di dahi Fera, tangannya yang tadi digunakannya untuk memencet remote sekarang ia gunakan untuk memegang-atau tepatnya memeluk perutnya.
"Astaga gue harus apa," pelukan Fera pada perurnya sendiri makin mengerat. Fera menyenderkan badanya ke sofa, lalu mengerang.
"Dilla--arrgghh!" pekik Fera kesakitan.
Mendengar teriakan kesakitan kakaknya, Dilla dengan secepat mungkin berlari menuju ruang tamu. Disana dilihatnya Fera sedang mengerang kesakitan.
Dilla menghampiri kakaknya, lalu dengan cemas bertanya, "Kak, lo kenapa, astaga?!"
Fera menatap Dilla dengan sendu. "Dek-" Fera menggantungkan ucapannya. "-gue pengen boker."
×××
KAMU SEDANG MEMBACA
150 CM
Novela Juvenil140 cm. Iya, gue tahu gue enggak tinggi dan gue selalu sadar akan hal itu. Tetapi gue selalu bersyukur kok. Gue selalu berterima kasih sama Tuhan, walaupun gue enggak dilahirin setinggi Taylor Swift. Terus apalagi yang salah? Yang salah adalah saat...