02》 SATU HARAPAN SERIBU KEGAGALAN

4.3K 590 45
                                    

Ospeks hari pertama akan dilaksanakan hari ini. Meski sebenarnya agak malas bangun pagi-pagi. Meski sebenarnya masih ingin bersua dengan mimpi-mimpi. Tetapi ketika mengingat kembali bahwa masih ada Rara di bumi, aku pun berusaha menepis keinginan diri, lalu menggantinya dengan menuruti kata hati. Membuatku sedikit lebih bersemangat untuk menyambut cahaya sang mentari.

Setibanya di kampus, kulihat Arkara sudah tiba. Ia sedang berusaha mengatur barisan kelompok kami. Ia adalah ketua kelompok, jika kalian tidak lupa. Dan aku adalah wakilnya.

Terbersit sedikit rasa bersalah, karena aku datang agak terlambat. Padahal seharusnya aku membantu Arkara untuk mengurus kelompok.

Kuhampiri ia di barisan depan, lalu kusapanya, "Ka, maaf aku telat. Jadinya kamu kerja sendiri."

Ia menoleh ke belakang, melihatku seraya membalas ucapanku barusan, "Santai saja, Yas. Cuma ngatur barisan, kok." Tak lupa ia menyempatkan untuk tersenyum kepadaku. Biar kuceritakan kepada kalian, menurutku Arkara adalah orang terkeren yang pernah kutemui. Bayangkan saja, dengan wajah setampan itu, bukan suatu hal yang tak mungkin jika ia memutuskan untuk menjadi seorang pecinta wanita alias playboy. Tetapi Arkara tidak seperti itu. Ia tampan, tetapi tak pernah merasa begitu. Ia hebat, dulunya juga merupakan bintang futsal di sekolah kami, tetapi ia masih menganggap kalau kemampuannya bukanlah apa-apa, dan sama sekali tak patut untuk disombongkan.

Padahal,
Arkara tidak memiliki kehidupan keluarga yang dapat dibilang baik. Atau justru boleh kusebut hancur. Ia hanya tinggal bersama kakek dan nenek yang merupakan pengusaha mebel terkenal seantero Jogja. Tetapi seingatku Arkara pernah cerita, ia sama sekali tak tahu siapa ayah dan ibunya, dan di mana keberadaan mereka. Yang ia tahu, ibunya adalah anak semata wayang dari kakek dan nenek. Beliau hamil di luar nikah, kemudian lahirlah Arkara. Seusai melahirkan Arkara, beliau kabur dengan laki-laki lain yang diduga kuat oleh kakek bukanlah merupakan ayah Arkara. Dan sampai sekarang, ibunya tidak pernah kembali lagi ke rumah. Tak hanya itu, kakeknya secara resmi juga telah menghapus data ibu Arkara dari catatan Kartu Keluarga, dan menggantinya dengan Arkara. Selain menghapus catatan kependudukan tersebut, beliau juga membakar semua kenangan tentang putrinya, termasuk foto-foto. Alasan kakek melakukan hal itu, karena beliau tak ingin Arkara mengetahui identitas sang ibu yang dianggap kakeknya sudah tak lagi memiliki harga diri serta tata krama selayaknya penduduk asli Yogyakarta yang terkenal sopan dan santun.

Meski kehidupan keluarga Arkara terbilang buruk, tetapi temannya itu selalu mengatakan bahwa kasih sayang kakek dan nenek kepadanya tidaklah kurang-kurang. Ia merasa sangat bersyukur karena kakek dan nenek masih mau merawat dan mendidiknya hingga sekarang. Itulah yang membuat Abiyasa semakin mengagumi sosok Arkara. Jika orang lain yang berada di posisinya, mungkin mereka akan putus asa. Tetapi Arkara masih bisa berdiri di atas kakinya sendiri hingga saat ini. Menatap dunia dengan berani. Dan membuat orang-orang berdatangan kepadanya secara alami. Karena ia adalah pusat dunia.

"Rara sudah datang?" tanyaku kepadanya.

"Ada. Dia di barisan paling belakang. Aku sudah mengabsennya tadi."

"Kenapa ndak kamu ajak ke depan? Sepertinya dia ndak mudah bergaul dengan yang lain."

"Benar juga kamu, Yas. Tadi kulihat-lihat, dia ndak mau ngobrol dan berbaur dengan teman-teman perempuan yang lain. Dia diam saja, ndak bereaksi apa-apa, dan ndak ada niat untuk mendekati mereka."

"Ya sudah, biar kuajak dia ke depan. Karena sepertinya cuma kita saja yang dia kenal." Arkara mengangguk setuju dengan ucapanku. Lalu sedetik setelahnya aku bergegas ke belakang mencari keberadaan Rara.

Gulita di Langit Senja (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang