#23

198 19 0
                                    

***

Aku berdiri diantara banyaknya siswa dan siswi Gemilang yang merayakan euphoria kelulusan.

Aku menggenggam erat seragam putihku.

Menggigit bibir bawahku.

Perasaanku tidak karuan. Terlebih saat aku melihat dia sedang tertawa bersama dengan kekasihnya.

Haruskah aku melakukan ini?

Tapi, jika tidak. Dia tidak akan tahu perasaanku sebenarnya.

Dan, setelah ini, perjuanganku selama ini hanya akan menjadi sia-sia.

Debu yang tak tersisa.

Dan, aku tidak mau itu terjadi.

-

Ku langkahkan kakiku mendekat ke arahnya.

Ini adalah lorong sekolah yang sepi.

Aku mengumpulkan niatku dan tekadku untuk memberanikan diri bicara dengannya.

Pelan tapi pasti.

"Eh, Siena?"

Menyadari kedatanganku, laki-laki itu menoleh ke arahku.

"Hai, Kak," ucapku lirih.

"Lo dateng ke acara kelulusan? Wahh."

"I-iya, Kak."

"Oh, ya. Mau tanda tangan di baju gue?"

Aku terkesiap sejenak, lalu menganggukkan kepalaku,"Boleh, Kak."

Lalu, aku mulai menandatangani baju seragam yang sudah hampir penuh dengan coretan tangan.

"Terimakasih," ujarnya seraya mengembangkan senyum.

"Iya, Kak."

"Oh, ya, Siena," Laki-laki itu kemudian sibuk membuka kantung yang ia bawa sejak tadi.

"Ada yang nitipin ini buat lo," ia menyodorkan segelas espresso kepadaku.

"Espresso?"

"Ya. Dan, masih hangat."

"Da-dari, siapa, Kak?"

"Entahlah. Tadi ada orang tak dikenal dateng ke gue dan memberikan amanat ini."

Aku meraih segelas espresso hangat itu dari tangannya. Lengkap dengan pesan secarik kertas yang ada di gelasnya.

Ku titipkan Espresso ini pada laki-laki yang kau gilai. Yang membuatmu tidak sadar akan perasaanku. Agar, kau dapat berbicara dengannya lebih lama sebelum perpisahan. Begitu isi kata-katanya.

Kata-kata itu berhasil membuat niatku berantakan.

Be-ran-ta-kan.

Kini, aku tidak lagi punya kesempatan untuk berbicara dengannya.

Semua sudah berakhir sudah.

Tentang aku, juga dia.



EspressoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang