***
Aku duduk sambil meminum segelas es teh manis yang ku pesan.
Entahlah, sejak hari kemarin, semua mood ku berubah jadi berantakan.
Aku membutuhkan yang manis. Agar semua bisa kembali normal.
Aku duduk di cafe tempat biasa aku memperhatikan dia.
Dean.
Laki-laki itu..
Ah, aku harus belajar melupakannya.
Aku tidak boleh mengingatnya.
Karena hanya akan menjadi sebuah luka; cintaku tidak terbalas olehnya.
Pasang mataku mendelik saat aku melihat dirinya.
Aku menundukkan kepala. Takut kalau ia akan menyadari kehadiranku.
Atau, sepertinya dia memang sudah menyadari.
"Siena?"
"Hai, Kak," jawabku gugup.
"Ngapain?"
"Nunggu temen, Kak."
"Oh.."
"Kakak?"
"Jemput temen. Tapi, kayaknya temen gue udah balik duluan."
"Oh.."
"Yaudah deh. Gue balik kalo gitu."
"Gak mau duduk dulu, Kak?"
"Gak usah. Lo kan lagi nunggu temen," senyumnya mengembang.
Ah, tampan.
Sebelum ia pergi, ia menghampiri waitress yang sedang berdiri.
Berbicara dengan nada berbisik. Aku hanya memperhatikannya samar-samar.
Takut ketahuan.
Tak lama kemudian, ia pergi.
Dan, aku kembali sendiri.
Memainkan gadgetku menunggu Lampu Neon.
Yang kini benar-benar membuatku penasaran.
"Permisi, Mba." Seorang waitress mengantarkan segelas espresso hangat ke mejaku.
Aku bingung.
"Lah, saya gak mesen, Mas."
"Ini dipesenin sama orang, Mba."
"Hah? Siapa?"
Kemudian, waitress itu memberikanku secarik kertas.
Aku meraihnya. Dan, mulai membacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso
Teen FictionSecrets have a cost. They're not free. Not now, not ever. - The Amazing of Spiderman 2