-3-

91 9 3
                                    

Hari ini adalah hari minggu, aku memutuskan untuk lari pagi mengelilingi komplek. Awalnya aku ingin lari pagi dengan bang Rian, tapi dia susah sekali dibangunkan. Alhasil, aku hanya sendiri. Huft.

Sudah tiga kali aku memutari komplek ini. Lelah memang, tapi aku juga ingat akan niatku yang ingin meratakan perut --diet--. Saat libur panjang, sehari aku bisa makan sampai lima kali. Bayangkan saja, bagaimana keadaan perut ini sekarang. Karena itu, aku ingin diet agar terlihat langsing kembali. Semoga berhasil. Gue tau ini lebay.

Matahari mulai terbit, keringatku pun sudah membasahi pakaian yang ku kenakan. Aku segera menyudahinya dengan berjalan ke salah satu taman di komplekku. Tiada siapapun di sini, hanya ada aku dan beberapa pohon yang melambai kesana kemari karena angin.

"Ya ampun, gue lupa bawa minum!"

Aku merutuki diriku sendiri. Di saat sedang haus seperti ini, aku malah lupa membawa minum. Ditambah lagi warung di komplek ini sedang tutup. Huft.

Di taman ada dua ayunan, aku menduduki salah satunya. Ayunan yang berada di bawah pohon, membuat udara sangat sejuk. Walaupun matahari sudah berada di tempat semestinya, aku tidak akan merasakan teriknya matahari. Aku memejamkan mataku sejenak, lalu mendamaikan hati dan pikiran. Taman ini adalah taman yang paling kusukai. Hingga setiap ku bosan di rumah, aku selalu pergi ke taman ini.

"Lo ngapain di sini?"

Aku mengernyit bingung, tapi masih dalam keadaan mata tertutup. Suara itu sangat jelas di telingaku. Dan, suara itu juga tak asing bagiku.

Bang Rian? Ah, tidak mungkin. Jam segini kuyakin dia masih molor di tempat tidur. Ayah juga pasti lagi membaca koran di taman belakang.

Aku pun membuka mataku perlahan, dan mencari asal suara itu. Aku menoleh ke sebelah ayunanku. Sekarang aku tidak sendiri. Ada seseorang yang membuatku melotot seketika, sedang berada di sampingku sambil tersenyum tipis. Tipiisss sekali, tapi sangat jelas di mataku. Aku bingung, kenapa dia bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dia tinggal di sini juga? Duh, kalo bisa jangan deh.

"K-kakak?" Gugup, hanya kata itu yang dapat kurasakan saat ini. Bahkan sekarang aku tak berani menatapnya, pandanganku hanya lurus ke depan.

"Kalo ada orang ngomong, liat wajahnya. Jangan buang muka."

DEG.

Tuhkan, kenapa sih jantung ini selalu berdetak tak karuan?

Aku pun menurutinya, aku menatap wajah datar itu. Baru kali ini aku mendengar dia berbicara sebanyak itu. Dia pun juga menatapku, dan kami --aku dan kak Marco-- kembali terdiam.

"Lo ngapain di sini?" Dia masih bertanya, dengan pertanyaan yang sama.

"Duduk aja." Balasku cepat.

"Nih." Dia menyodorkan botol minuman kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi. "Apa?"

"Buat lo, gue tau lo aus." Dia menyodorkannya lagi, dan botol minuman itu berpindah ke tanganku.

Uh, dia tau saja kalo aku sedang haus.

"M–makasih, kak–?" Aku memberi jeda agar dia menjawab namanya. Walaupun aku sudah tahu sih.

"Marco."

Aku pun hanya mengangguk mengerti, lalu aku minum botol minuman itu hingga setengah. Huh, tenggorokan gue gak kering lagi.

"Rumah lo nomer berapa?"

"Sepuluh."

"Sepuluh? Kok gue gak pernah liat lo ya." Tanyanya.

ADRIENNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang