-6-

84 9 0
                                    

-Adrienna-

TOK! TOK! TOK!

Aku mengetuk pintu kamar bang Rian yang berada di sebelah kamarku. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Mau masuk, tapi nanti dimarahin. Ah, lebih baik aku mengetuknya lagi.

TOK! TOK! TOK!

"BANG RIAANN!!" Teriakku sambil mengetuk pintunya beberapa kali.

Ceklek!
Tanda pintu dibuka, akhirnyaaa.

"Lo ngapain sih ketok ketok? Pake teriak segala." Ucap bang Rian.

"Ck! Siapa suruh lama banget buka nya? Udah ah gue mau masuk." Aku berdecak, dan langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mempedulikan bang Rian yang masih berada di pintu.

Aku berbaring di kasurnya yang empuk itu, sudah lama aku tidak ke kamar bang Rian. Dekorasinya juga udah di ubah lagi, berbeda dengan yang dulu.

"Main masuk aja lo. Tumben banget lo ke kamar gue, kenapa?" Bang Rian duduk di pinggir kasur sambil mengernyit ke arahku.

Aku membuang napas pelan. "Gue mau curhat, bang." Ucapku dengan nada lesu.

"Huh? Gue gak salah denger? Gue kira orang kayak lo gak punya masalah." Ucapnya sambil memainkan ponselnya.

"Sialan lo, bang." Gumamku sambil memutar bola mataku.

"Oke oke, lo mau curhat apa, Ca?"

Bang Rian menaruh ponselnya di nakas lalu kembali menghadap ke arahku. Aku pun bangun dan bersandar dengan bantal. Hm, semoga aja bang Rian gak ngeledek.

"Abang tau anaknya om Indra sama tante Shara gak?" Tanyaku.

Lima menit. Lima menit bang Rian diam tanpa berniat membuka suara, namun matanya masih menatapku. Uh, kenapa dia jadi diem gitu? Apa aku salah ngomong? Kayaknya nggak deh, aku kan cuma memastikan aja.

"Bang?" Aku menepuk pundaknya, bang Rian pun terkejut saat aku memanggilnya. Benar-benar melamun.

"H-huh? Kenapa, Ca?"

"Kok lo bengong, sih, bang?"

"Huh? Nggak, kok. Oh ya, gue gak kenal tuh sama anaknya om Indra. Gu-gue gak pernah liat." Ucapnya sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Setahuku, orang yang menggaruk tengkuk lehernya itu pasti sedang gugup.

Bang Rian gugup?
Tapi, kenapa?

Aku menaruh telunjukku di depan dagu sambil mengernyit dahi, seakan sedang berpikir. "Hmm, gue juga gak pernah sih, bang."

"Lah terus- lo kenapa nanya gue, Ca?" Tanya bang Adrian.

"Huh? Hmm- waktu minggu lalu pas gue lari pagi itu, gue ketemu anaknya om Indra, bang." Ucapku.

Sebenarnya sangat malas jika harus mengatakan kejadian itu, apalagi mengingatnya. Tapi, entah kenapa hatiku tergerak untuk mencari tahu tentangnya. Ya- tentang kak Marco.

"Serius? Terus gimana? Lo ngobrol sama dia gak, hm?" Bang Adrian langsung memegang kedua pundakku dan menatapku dengan tatapan yang- aku gak ngerti.

Aku mengernyitkan dahi bingung. "Kok lo kayak orang kesetanan gitu, sih?"

"Eh, nggak, gak papa." Dia menggeleng cepat, aku pun hanya mengangguk pelan tanpa memperpanjang obrolan tadi.

"Tapi, bang-

"Setiap gue inget dia, gue selalu pusing." Aku bercerita lagi. Sepertinya bang Rian sedikit kaget mendengar ucapanku barusan.

"Ah, mungkin karna lo kecapean kali." Bang Rian mengedikkan bahunya acuh sambil mengambil ponselnya yang berada di nakas, lalu memainkannya.

ADRIENNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang