Chapter 6. Her

202 22 2
                                        

Harry's POV

Aku mengikutinya, tidak perduli ia menyukainya atau tidak. Meskipun tidak benar-benar dibelakangnya, setidaknya aku tau ia selamat sampai rumah karena kami selalu pulang bersama. Keselamatannya selalu menjadi tanggung jawabku dan itu tidak akan berubah meskipun ia marah padaku seperti saat ini.

Cukup lama untuk kami bertengkar seperti ini dan selalu berawal dari hal yang aku tidak ketahui. Setidaknya rata-rata seperti itu. Aku tau ini hanya salah paham dan kami berdua perlu lebih terbuka pada satu sama lain. Tidak pernah aku mengerti  cara berjalannya persahabatan kami yang jarang sekali bertengkar namun, sekalinya bertengkar selalu saja masalah kecil dan tidak terduga oleh kami. Aku mendengarnya menyebutkan bahwa aku menyembunyikan sesuatu darinya. Aku harus memutar otakku untuk mengingat apa yang aku tutupi darinya. Kapan aku bersikap tidak baik padanya?

Aku sampai didepan rumah Ady tidak lama setelah Ady sampai rumahnya. Aku melihatnya seperti menembus pintu karena ia tidak berhenti untuk berjalan bahkan bersikap baik pada Ibunya yang membukakan pintu. Ibunya membiarkan pintu terbuka yang aku ketahui memberi jalan untukku untuk masuk ke dalam rumah dan menyelesaikan masalah kami. Perlu beberapa menit dibelakang Ady untuk menaruh motorku terlebih dahulu dan mengejarnya ke dalam rumah. Ibunya mempersilahkanku masuk namun pintu kamar Ady sudah tertutup saat aku sampai. Aku dapat menebak hal yang ia lakukan saat ini. Memakai headphonenya yang memutar playlist penambah buruk suasana saat ini, menutup wajahnya dengan bantal dan menarik selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya karena cuaca hari ini yang benar-benar mendukung masalah ini.

Ady adalah gadis yang selalu mengkhawatirkan segala hal. Ia melakukan segala hal dengan teratur, mengatur apa yang akan ia lakukan hari ini maupun keesokan harinya, mengatur apa yang akan ia pakai, memikirkan setiap hal yang ia lakukan matang-matang, namun cukup ceroboh untuk orang yang cukup detail. Ia mudah untuk menerima orang baru meskipun sulit untuk menerima hal baru karena sifatnya yang terlalu mengkhawatirkan segala hal.  Jika kamu dapat membuat Ady tertarik atas apa yang kamu ucapkan, ia akan percaya padamu, maka dari sanalah aku harus membuatnya mengingat apa yang ia lakukan—seperti menutup dirinya dari lingkungan sekitarnya—harus sesuai dengan keadaan yang terjadi. Terkadang, tertutup pada orang itu lebih baik, menurutku. Setidaknya jangan terlalu banyak bicara karena kamu tidak akan mengetahui siapa yang perduli dan siapa yang mencari tau. Namun kami berbeda. Dari awal kami bertemu, setidaknya aku berhasil membuat Ady tertarik dengan apa yang aku ucapkan dan aku tidak memiliki pikiran yang buruk meskipun pada saat itu Ady adalah orang yang benar-benar pendiam. Ia memiliki sejuta hal menarik jika kamu mengenalnya. Ia hanya berpegang teguh pada pendiriannya, jika ia memercayai seseorang, apapun itu, seluruh hal harus ia ketahui.

Terkadang, kamu tidak dapat menceritakan seluruh hal. Pasti ada saja hal yang kalian tutupi untuk alasan tertentu. Ady, ia tidak pernah mencoba untuk menerima hal seperti ini. Karena dirinya memang begitu, selalu mencari cara agar ia tidak memberikan contoh yang salah karena pendiriannya yang kuat itu.

Karena hal ini aku teringat akan Lyon, laki-laki yang bodoh itu. Kamu akan mengetahuinya nanti dari Ady secara langsung—jika ia sudah siap—apa yang telah Lyon lakukan pada Ady sehingga aku tidak menyukainya. Aku memberi peringatan padanya atas apa yang ia lakukan pada Ady karena Ady hanya akan memendamnya dan mencoba untuk melupakannya yang berakhir memaafkannya meskipun ia memiliki pikiran untuk tidak bertemu dengan orang bodoh itu—dan itu pertanda yang baik—lagi.

Aku mengambil kunci ganda kamar Ady yang Ibu Ady sudah siapkan sewaktu-waktu hal ini terjadi. Kebiasaan Ady lainnya adalah melepaskan kunci dari pintu sehingga kamarnya dapat dibuka selagi ada kunci cadangan. Ia kurang cerdik dalam hal ini.

Aku membuka pintunya secara perlahan, aku tau bahwa ia mengetahui aku berada dikamarnya—kelebihan Ady yang lain—namun ia memilih untuk tidak perduli. Aku menghembuskan nafasku sambil menutup pintu kamarnya. Aku mengambil langkah untuk mengambil kursi meja belajarnya dan menaruhnya disamping tempat tidur Ady. Aku duduk disampingnya, mengambil bantal dari wajahnya, secara perlahan membuka headphone dari telinganya. Ia menatapku lalu memutarkan kedua bola matanya.

Lovable // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang