Chapter 1. Question Mark

355 37 1
                                    

Adriana's POV

"Ayolah, sekali ini saja."

"Kita sudah melakukannya berulang kali, Harry."

"Maka dari itu kita lakukan lagi."

"Tidak."

"Tolonglah, hanya kali ini saja. Aku bosan."

"Kamu menggangguku, keluar dari kamarku, sana."

"Tidak akan. Seorang gadis sepertimu harusnya keluar dari kamar."

Ia menutup laptopku, membuat film 500 Days of Summer yang aku tonton mati dengan otomatis. Ia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidurku, membuat diriku yang terduduk ditengah tempat tidur harus berpindah posisi ke sisinya.

"Sini." Ucapnya membuka tangannya lebar-lebar.

"Seorang laki-laki sepertimu harusnya sedang mencari gadis untuk kamu ajak ke party malam ini." Ucapku memainkan rambut ikalnya yang berantakan, menolak untuk tidur disampingnya.

"Itu urusan nanti, aku lebih baik mengganggu harimu." Balasnya.

"Bagaimana dengan tawaranku?" Tanyanya lagi.

"Bermain chubby bunny? Membosankan." Jawabku sambil mengikat rambutku menjadi kucir kuda.

"Truth or dare?"

"Kamu tidak sadar umur?" Tanyaku berbalik.

"Apa salahnya kita bermain truth or dare? Kamu hanya perlu menjawab atau melakukan apa yang aku inginkan." Ucapnya seperti anak kecil.

Aku mendekat ke arahnya, mencoba mencium bau alkohol yang mungkin saja baru ia minum namun yang aku dapatkan hanyalah wangi parfumnya yang khas. Tapi tetap aku tidak percaya.

"Kamu mabuk, Haz?" Tanyaku.

"Kalau aku mabuk, aku akan mengajakmu." Balasnya.

"Aku malas melakukan dare." Ucapku lagi.

"Aku mendaremu untuk bermain twenty questions. Jawab pertanyaanku, kamu tidak perlu berbalik bertanya. Cukup. Ini adil." Ucapnya sebelum aku mengatakan bahwa hal yang ia lakukan adalah hal yang tidak adil dan akan selalu begitu jika ia sedang benar-benar bosan.

"Berapa laki-laki yang chat denganmu minggu ini?" Tanyanya menatap mataku.

"Berapa ya? Empat sampai lima, mungkin? Termasuk dirimu." Jawabku seadanya.

"Menurutmu, mereka seperti apa?" Tanyanya.

"Kalau kamu ingin tau sekali, tentu saja mereka enak untuk dipandang. Kecuali dirimu." Jawabku.

"Kamu menyukai mereka?" Tanyanya lagi.

"Bagaimana ya? Sepertinya begitu. Gadis mana yang bisa menolak mereka, Harry." Jawabku menahan senyum melihat wajahnya yang menutupi kerutan di dahinya.

"Apa yang mereka tidak punya dari aku?" Tanyanya menyatukan kedua tangan kami, menutupi kegelisahannya.

"Aku." Jawabku membuatnya tersenyum menunjukkan lesung pipinya yang dalam.

Ia menarikku ke dalam pelukannya untuk mengacak-acak rambutku. Suara tawanya yang menggema didalam kamarku membuatku ikut terhanyut kedalam tawanya.

"Ayo buat sarapan." Ucapnya sambil bangun dari tempat tidurku.

"Gendong." Pintaku saat ia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Ia tidak menolak. Ia hanya membalikkan tubuhnya agar aku dapat digendongnya di punggungnya. Kami menuruni tangga dan mengarah langsung ke dapur karena kami berdua sudah mandi pagi tadi. Sendiri-sendiri tentunya. Alasan mengapa ia muncul di hari sepagi ini hanyalah, setiap hari minggu ia menginap dirumahku atau aku menginap dirumahnya dimulai dari sabtu pagi atau setidaknya sabtu sore. Tidak ada bosan-bosannya kami melakukan hal ini dan hal ini pun tidak mengekang kami. Jika memang di hari sabtu atau minggu kami memiliki acara, kami akan datang ke acara itu berdua atau tidak sama sekali.  Itu memang terdengar aneh tapi nyatanya kami sulit untuk tidak melakukan hal-hal secara tidak bersamaan meskipun kami ada didalam satu sekolah dan selama empat tahun—sekarang berjalan lima—kami berada di satu kelas yang sama. Kami tidak memilih ekstrakulikuler yang sama karena kami sepakat agar tidak bertemu dengan satu sama lain secara terus menerus, nyatanya tidak seperti itu.

Aku lebih awal mengenal orang tua Harry dan berakhir cukup dekat dengan kaka perempuannya, Gemma, yang sekarang sudah kuliah dan tinggal diluar kota. Ia akan mengabariku terlebih dahulu jika akan pulang, sebelum Harry. Orang tua Harry yang sangat ramah membuatku nyaman untuk berada ditengah keluarganya. Tante Anne, Ibunya Harry, menganggapku sebagai anak perempuannya karena Gemma yang jarang ada dirumah. Hal inilah yang mengawali acara menginap kami.

Ibuku yang mengikuti acara senam pagi, meninggalkanku bersama Harry dirumah. Aku memang hanya tinggal berdua dengan Ibuku dan Ibuku percaya terhadap Harry meskipun awalnya ia tidak begitu mempercayainya karena Harry lebih dapat disebut pacarku dibanding sahabatku. Aku harap begitu namun nyatanya tidak.

"Kenapa Ibumu lama sekali?" Tanya Harry sambil mengaduk adonan pancake.

"Ia butuh bersosialisasi, Harry. Ia pastinya lelah bertemu denganmu." Jawabku.

"Apalagi bertemu dengan anaknya setiap hari, pasti membosankan." Ucapnya membalas.

"Enam belas tahun aku bersamanyapun, ia tidak pernah mengeluh soal bertemu dengan anaknya setiap hari." Ucapku sambil memanaskan penggorengan.

"Sayangnya Ibuku lebih ingin bertemu denganmu dibanding bertemu denganku. Setidaknya Ibumu senang melihatku." Ucapnya membuatku tersenyum mendengarnya.

"Kamu benar menyukai salah satu dari laki-laki yang chat denganmu?" Tanyanya yang sudah aku duga akan menanyakan hal ini.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Ingat terakhir kali kamu jatuh cinta dengan laki-laki tidak tau malu? Kamu tidak keluar dari kamarmu selama seminggu dan memasang wajah murung selama berbulan-bulan. Mana bisa aku membiarkan itu terjadi lagi?" Tanyanya lagi.

Aku hanya tersenyum kecil, berusaha menutupi apa yang aku rasakan terhadap Harry. Menurutku, tidak mungkin jika kamu menemukan sahabat laki-laki yang benar-benar cocok denganmu tanpa kamu merasakan hal lebih dengannya. Karena aku sudah menutupi perasaanku yang berlebihan kepadanya sejak dua tahun yang lalu dan selalu berakhir padanya. Namun aku tau, kami tidak bisa dipaksakan dan kami bukanlah hal yang baik di hubungan kami.

Kami duduk berhadapan di meja makan setelah selesai membuat pancake yang kami buat lebih untuk Ibuku.

"Mau ikut tidak ke party yang Louis buat?" Tanya Harry membuka pembicaraan.

"Sejak kapan kita datang ke party?" Tanyaku berbalik diikuti tawa kecil.

"Sejak Louis mengajakku hari jumat kemarin." Jawabnya datar.

"Kamu mau ikut?" Tanyaku berbalik.

"Jika kamu ikut." Jawabnya menyuapkan potong pancake dan madu ke mulutnya.

"Aku tidak punya baju untuk pergi ke tempat seperti itu." Ucapku menatap Harry dengan serius.

"Memang ada yang perduli? Mereka akan mabuk disana." Ucapnya dengan santai.

"Kamu akan mabuk?" Tanyaku lagi.

"Jika aku mabuk, aku akan mengajakmu." Jawabnya menyuapkan potongan pancake terakhir ke mulutnya sambil tersenyum menyeringai ke arahku.






Vote and comment! -dx


Lovable // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang