Sewelas - Camp

8.4K 1.1K 246
                                    

            Pambudi diam. Dia masih nggak percaya kalau barusan pelatih tim futsal mengatakan sesuatu yang luar biasa padanya. Pambudi mingkem lagi. Dia menatap teman-temannya yang terlihat antusias dan bertepuk tangan untuknya. Bahkan sebagian dari mereka sudah mengucapkan selamat dan minta traktiran. Pambudi masih diam, nggak bisa percaya.

"Saya terpilih ikut camp?" Pambudi melongo, lalu menggeleng kencang. Ini pasti bohong. Pambudi nggak percaya kalau dia juga terpilih. Terpilih apa? Jadi selama seminggu nanti Pambudi jadi duta atau perwakilan sekolah untuk mengikuti camp pelatihan futsal. Camp ini diadakan untuk memberikan pelatihan khusus bagi pemain-pemain futsal yang berpotensi. Pambudi adalah salah satu dari dua orang yang terpilih khusus mewakili nama sekolahnya. Dia didapuk untuk jadi utusan sekolah dan berlatih dengan pemain terbaik dari sekolah-sekolah lain.

"Kok masih nggak percaya? Ini suratnya!" Pelatih memberikan surat undangan yang berisi nama Pambudi dan nama salah satu temannya.

"Tap... Tapi kan..." Pambudi tahu bagaimana camp pelatihan itu. Tempatnya keren, pelatihnya terkenal, belum lagi dia pasti akan mendapatkan pelatihan bak pemain profesional.

"Kamu kan jadi top scorer dalam pertandingan ini, sampe final pula..! Kok masih nggak percaya?" Pelatih masih tertawa. Baginya lucu saja melihat Pambudi - cowok sederhana yang nggak banyak menuntut - itu bengong. Pambudi berbeda daripada kapten tim sebelumnya, itu yang Pelatih rasa. Pambudi nggak pernah sok, selalu saja santai. Namun tiap kali Pambudi mengarahkan teman-temannya, semuanya selalu nurut. Pelatih jadi kepo bagaimana jiwa kepemimpinan Pambudi selama ini bisa mengarahkan teman-teman dalam timnya.

"Besok berangkat, ya pak? Ini buru-buru banget. Kan saya belom packing..." Mendengar alasan Pambudi, seisi ruangan mendesah kecewa. Ternyata dari dulu Pambudi itu masih sama. Isengnya setengah mampus. Itu juga kalau dia ingat sedang iseng, kalau dia lupa.. mungkin dia akan begitu terus sampai patung pancoran nunjuk hidungnya sendiri.

Setelah pengumuman dan kejutan singkat itu, mereka semua kembali ke kelas masing-masing. Hanya tersisa Pambudi dan juga Pelatih. Pelatih masih kepo bagaimana bisa kapten iseng dan jahil macam Pambudi bisa mengarahkan anggota tim yang lain. Teman-temannya seolah nurut begitu padanya.

"Pambudi, saya boleh tanya?" Pelatih bertanya akhirnya. Pambudi mengangguk santai.

"Boleh, pak! Ongkos belakangan, kok! COD boleh!"

Satu tepukan dari kertas melayang di kepala Pambudi. Mereka berdua memang sudah akrab seperti seorang bapak dan anak. Tapi Pambudi bertransformasi jadi anak yang kurang ajar. Kurang ajar dalam artian tertentu, yang membuat kekurangajaran Pambudi dinilai bikin kangen. Uhuk!

"Jadi saya mau tanya. Kenapa..."

"Kenapa apanya, pak?"

Pelatih memukul Pambudi lagi dengan kertas. Pambudi nyengir.

"Kenapa teman-teman kamu bisa tunduk gitu? Biasanya kalau saya yang SMS, mereka semua selalu ada aja alasan buat bolos latihan. Capek, lah! Lagi sibuk, lah! Kucingnya sakit, lah!"

Pambudi nyengir makin lebar.

"Itu sih rahasia kapten, pak!"

"Saya beneran kepo, lho!" Pelatih masih ngotot untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Pambudi. Pambudi menatap Pelatih dengan raut lucu.

"Kita harus tahu rute pendakian kalau mau naik gunung, kan pak?"

"Kita nggak lagi ngomongin naik gunung!"

Pambudi menggaruk tengkuknya. Susah ngomong dengan pelatih futsal. Tahunya soal bola terus, fisik terus... nggak paham soal filosofi dan juga perumpamaan. Mendingan ngomong sama guru bahasa saja. Hastag akuraurus.

Nih, Upil!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang