Pesta barbeque berlangsung dengan baik, daging yang begitu enak ketika menyatu dengan bumbu yang sangat terasa, membuat aku selalu berlama-lama ketika merasakan daging tersebut masuk ke dalam mulut ku.
Perbincangan ringan mulai mengisi malam ini, lagu clasic mengalun merdu melalui speaker hitam besar di depan kolam renang, terlalu damai dan tenang. Sampai-sampai aku terbuai dan tidak ingin beralih dari situasi ini.
"Jadi, Kak Rey habis ini masuk universitas mana?" Tanya Lyana. Memang sedari tadi kebanyakan kami bercerita tentang masa depan, cita-cita dan tujuan hidup. Namun, entah mengapa. Aku tidak terlalu tertarik dengan topik ini, pasalnya masa depan, cita-cita dan tujuan hidup ku seakan terlupakan ketika perasaan ku mengambil alih. Yang ku tahu, masa depan ku adalah melihatnya sukses, cita-cita ku adalah menjamin kebahagiaannya, tujuan hidup ku adalah mencintainya. Namun, kembali kepada kenyataan, bahwa aku hanya dapat mewujudkan semuanya itu ketika dia tidak bersama ku, bahwa aku bukan masa depan, cita-cita, atau tujuan hidupnya. Tapi, aku mencintainya. Entah sampai kapan aku menutupi perasaan ini, ketika melihatnya di depan ku sekarang, memakai kaos polos berwarna biru dongker dengan celana jeans selutut, aku tau bahwa dia adalah hidup ku, bahwa walaupun banyak laki-laki di sisi ku, hati ku tetap terjatuh untuknya, walaupun itu melukai ku.
"Kalo Tuhan berkenan, gue bakal masuk UI" ucap kak Rey.
"Bagus tuh, kalo kak Chris masuk universitas mana?" kali ini Sania yang bertanya. Jujur aku juga penasaran. selama ini, apapun yang berhubungan dengan Chris, seperti sebuah misteri untuk ku.
"Iya. Aku yang pacarnya aja gak tau dia mau ngelanjutin dimana?" Semua memusatkan perhatian ke arah Chris, sempat Chris menatap ku sedetik sebelum membuang wajahnya ke arah lain. Begitu bencinya dia kepada ku?
"Gue juga masih gak tau, semuanya urusan mama sama papa" aku kecewa dengan jawabannya, berharap bahwa setidaknya universitas yang di pilih oleh Chris masih berada di seputar Jakarta, walaupun dia sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa kepada ku, setidaknya aku bisa memastikan dia baik-baik saja.
"Gak asik lo, sok misterius banget" kak Aldi melempar kentang goreng ke arah Christian. Well, aku sudah mengatakan bahwa walaupun mereka sudah dewasa kelakuan mereka tetap saja seperti anak-anak. Tapi, inilah situasi yang membuat aku nyaman, merasa bahwa tidak ada perbedaan diantara kita, walaupun mereka adalah kakak kelas ku.
Pesta barbeque ini berlangsung dengan menyenangkan, aku pasti tidak akan melupakan momen-momen ini, menyimpannya dengan baik di hati ku, mungkin suatu saat di masa depan nanti aku bisa mengingat ini jika merindukan mereka.
*
Aku, Lyana dan Sania sedang mengobrol di balkon kamar di temani oleh susu coklat panas, rasanya sudah sangat lama ketika kami tidak memiliki waktu-waktu khusus untuk mengobrol. Setelah kami sibuk dengan urusan pribadi kami masing-masing.
"Gue rasa kak Aldi suka sama lo deh, San" aku kembali berucap. Aku dan Lyana memang kompak mengganggu Sania dari tadi.
Wajah Sania selalu saja memerah, walau dia melakukan berbagai macam cara untuk menyangkal perasaannya. Aku tahu bahwa gadis ini sedang jatuh cinta.
"Gak usah nyangkal deh San. Kita itu udah kenal lo lama banget, jadi kita tau ekspresi lo kayak gimana" Sania kembali bungkam. Sania memang tipe perempuan yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya lama-lama, sama seperti Lyana.
Sania menutup telinganya, walaupun dia berusaha untuk tidak mendengar, tapi wajahnya berkata lain, wajahnya memerah dan itu membuat aku dan Lyana tidak bisa berhenti tertawa.
"Iya gue suka sama kak Aldi" setelah sekian lama kita goda, akhirnya Sania mengaku juga, sudah ku katakan Sania tidak bisa berlama-lama menyimpan perasaannya.
Pandangan Sania menerawang ke depan "tapi setidaknya, kak Aldi bukan pacar sahabat gue. Jadi, gue gak pa-pa suka sama dia"
Skakmat! Aku seperti kehabisan kata-kata, secara tidak sengaja Sania menyinggung ku, atau Sania memang sengaja, apa Sania memang tahu bahwa aku menyukai Chris ?
Pegangan ku di gelas melemas dan tanpa ku sadari susu coklat panas itu sudah terjatuh di lantai dengan gelas kaca yang sudah hancur berkeping-keping.
"Lo gak pa-pa Cis?" Suara Sania dan Lyana terdengar khawatir, namun mata ku masih menatap kosong ke depan. Seakan ada setumpuk batu-batu menindih ku dan aku tidak tau bagaimana caranya untuk bergerak. Seperti sebuah bom yang tepat sasaran, pernyataan Sania menghancurkan hati ku telak-telak.
Merasa bahwa aku adalah manusia yang paling nista dan paling hina di dunia ini, seperti sebuah hukuman yang harus ku terima, ketika dengan liciknya aku membiarkan perasaan di hati ku tumbuh untuk pacar sahabat ku.
"Panggil kak Rey" sayup-sayup ku dengar teriakan Lyana, walau ku tahu ini sama sekali tidak darurat. Aku hanya berada di masa shock ku, ketika kenyataan menghadang ku dari segala imajinasi. Berpikir bahwa semua baik-baik saja, walau ketakutan masih ada, bahkan sekarang sedang melambung tinggi. Ketakutan masa lalu ketika Lyana mendapati aku dan Chris berpelukan. Bagaimana jika Lyana mengetahui yang sebenarnya? bagaimana jika topeng ku tidak bisa bertahan lama? Apakah semua akan diambil dari ku? Persahabatan yang ku jaga dengan hati akan hancur hanya dengan sebaris kalimat tegas, kejujuran yang menyakitkan.
"Christy" tepukan di pipi ku membuat aku tersadar, nampaknya aku telah membuat kegaduhan di rumah ini, semua menatap ku khawatir, tak terkecuali Christian yang sudah melarikan wajahnya ke arah lain ketika aku menatapnya.
Kak Gilang memberikan ku air putih, sedangkan Lyana mengusap-ngusap punggung ku agar aku lebih rileks. Pecahan gelas masih ada di bawah sana, genangan susu coklat masih menyatu dengan lantai seakan mengingatkan ku kepada pernyataan yang membuat gelas coklat itu berakhir di lantai.
"Dia kenapa?" Pertanyaan itu seperti di tunjukan ke arah dua sahabat ku, karna aku yang masih bungkam.
"Kita juga gak tau, tiba-tiba aja Cis jadi kayak gini. Pandangannya kosong" tentu saja Sania dan Lyana tidak mengetahui hal ini. Karna aku berusaha dengan rapi menutupi setiap celah kejujuran, tapi setelah kejadian tadi. Aku takut Sania--aku takut Sania tahu dan semuanya tidak akan pernah sama lagi.
"Gue mau ke kamar mandi kak" suara ku akhirnya kembali, ku alihkan tatapan ku ke arah orang-orang di depan ku, mereka seperti khawatir dan tidak percaya. Tetapi, demi apapun. Aku hanya ingin waktu sendiri, waktu menenangkan diri ku dan segala keputusan-keputusan ku yang telah aku buat.
"Gue gak pa-pa kok. Nanti kalo ada apa-apa gue teriak" ucap ku meyakinkan, walaupun aku tidak yakin bisa teriak karna sebenarnya tidak ada yang akan mengganggu ku. Satu-satunya hal yang mengganggu ku adalah hati dan pikiran ku.
Kak Rey mengangguk walaupun sedikit cemas. Namun, aku tetap akan menyendiri sampai aku merasa siap untuk menghadapi dunia dengan diri ku yang sudah melakukan berbagai macam kesalahan.
Melewati Chris, lagi-lagi tatapan datar itu yang aku dapatkan. Nyatanya aku harus berjuang sendiri dan menanggung semuanya sendiri. Apakah aku bisa menghilang dari dunia ini?
Setelah memasuki kamar mandi aku memastikan bahwa pintu kamar mandi benar-benar terkunci.
Menyumbat aliran air dan menyalakan shower, berharap bahwa air ini dapat membawa ku ke dunia lain. Apa aku bunuh diri saja?
Aku telah menyukai pacar sahabat ku, aku lebih baik mati daripada melihat sahabat-sahabat ku membenci ku, orang-orang mendecih ku. Karna perasaan ku terlarang dan tidak bisa bertahan dengan lama.
Di bawah guyuran air ini aku melepaskan semua kegelisahan ku, sampai entah bagaimana aku terhanyut dalam kesakitan ini, sehingga udara ku semakin menipis dan pandangan ku menggelap.
---------------
Semakin tidak jelas cerita ini.
Gue gak ingin banyak a/n. Cuma vote dan comment kalian aja di setiap chapter, lebih dari cukup buat gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sidekick
Teen Fiction"first kiss darimu, menghantarkanku ke sebuah cerita baru. cerita cinta yang dari dulu selalu ku hindari, aku berusaha untuk tidak jatuh cinta padamu, tapi tidak bisa. ketika aku sudah yakin bahwa perasaanku hanya untukmu, aku tidak bisa melakukan a...