→ 36 : Setelah Ending

4.9K 310 5
                                    

Melangkahkan kaki ku masuk ke dalam kamar yang kami tempati di rumah ini, pikiran ku masih terbayang oleh perkataan Chris. Apa aku siap melepaskannya? Walaupun kita berdua tahu bahwa tidak ada celah sekecil apapun untuk dapat memaksakan perasaan kita berdua di dalam sebuah ruangan hati, namun wajah itu, tatapan itu, perilaku seperti itu, sanggup membuat ku yakin bahwa kekuatan cinta tak akan pernah salah, sedalam apapun kau telah jatuh, kekuatan itu dapat membuat mu bangkit. Kini, kekuatan itu bergerak menjauh, meninggalkan perasaan yang berusaha ku kubur dalam-dalam, ku gembok dan kuncinya di bawa serta bersama kekuatan itu, entah di beberapa tahun mendatang, ada seseorang yang akan datang dan menemukan kunci yang tepat untuk gembok hati ku, atau mungkin aku terus mengurung hati ku sampai batas waktu yang tidak pernah ku tahu.

"Lyana, lo mau kemana?" Lyana berdiri di depan lemari, memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Yang ku tahu kita semua akan kembali ke Jakarta besok siang. Memangnya waktu besok tidak cukup? Sampai-sampai Lyana memutuskan untuk packing malam hari seperti ini.

Aku mendekat ke arah Lyana, memegang bahunya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari koper-koper untuk mendengar pertanyaan ku. Kenapa Lyana jadi cuek seperti ini?

Lyana menghempaskan tangan ku dari pundaknya "lo kenapa si, Na?!" Antara geram dan kesal aku menghadapi wanita di depan ku, dia tidak seperti Lyana yang ku kenal. Tadi ketika membuat lampion kami berdua bahkan tertawa dan saling mengejak, hanya selang beberapa menit saja Lyana sudah bersikap dingin, seperti tidak mengenal ku.

"Bukan urusan lo!" Lyana berteriak di depan wajah ku, menunjuk ku menggunakan jarinya. Mimik wajahnya langsung berubah 180°. Dia menatap ku seperti sedang menatap orang asing.

Astaga! Kesalahan apa yang aku lakukan kali ini?

Lyana berjalan melewati ku, menarik koper beroda berwarna ungu miliknya, dengan cepat aku menahan lengannya. Tak akan ku biarkan dia pergi, tanpa menjelaskan masalah yang timbul di antara kami.

"Apaan sih lo?!" Lyana kembali menghentakkan lengan ku, aku mengerang frustasi.

"Sania. Cepetan dong!" Lyana berteriak, aku menolehkan kepala ku ke arah kamar mandi. Dari dalam kamar mandi Sania muncul sambil menarik kopernya.

Aku mengusap wajah ku frustasi. Hal apa yang membuat dua sahabat ku ini menjadi berbeda, mereka mengacuhkan dan mengabaikan ku, terlebih lagi mereka tidak memberikan alasan, mengapa mereka melakukan hal ini terhadap ku.

"Kalian berdua mau kemana?!" Aku berteriak, apa aku sebuah kesalahan untuk mereka berdua? Aku lebih baik di tegur habis-habisan daripada di abaikan seperti ini, apalagi oleh sahabat ku sendiri.

Lyana dan Sania seakan tuli mendengar teriakan ku, mereka berdua terus berjalan dan membuka pintu kamar, berjalan ke arah bawah. Aku melirik jam dinding yang menunjukan pukul 10 malam. Apa mereka gila? Balik ke Jakarta saat hampir tengah malam.

Aku berlari menyusul mereka ke arah bawah rumah ini. Di sana, di ruang keluarga. Semua telah berkumpul, termasuk Sania dan Lyana yang terlihat bermuka masam ketika di paksa oleh kak Rey untuk duduk di salah satu sofa.

"Cis. Sini" kak Rey memanggil ku, menepuk bantalan duduk di samping tempatnya. Aku menatap Mike yang berada di samping kiri ku, ketika aku melewatinya, dia hanya menunduk. Apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Aku menatap satu per satu orang di ruangan ini, mulai dari kak Rey, Mike, kak Gilang, kak Aldi, Lyana, Sania, serta Chris. Belum ada salah satu dari mereka yang hendak berniat membuka suara.

"Ada apa sih sebenarnya?" Aku menatap ke arah Lyana dan Sania. Lyana tersenyum miring dan membuang wajahnya, reaksi Sania tidak jauh beda, Sania memutar bola matanya, seakan apa yang aku katakan hanyalah omong kosong.

SidekickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang