Pengakuan

25.7K 1.2K 22
                                    

Setelah hampir dua jam kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, akhirnya kuhentikan mobilku disebuah restaurant yang bernama The View yang terletak di Desa Munduk, Buleleng. Kami memilih duduk disebuah garden gazebo yang menjadi icon dari restaurant ini.
Masih enggan rasanya aku berbicara dengannya. Akupun tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Ingin rasanya aku menatap mata teduhnya, namun gengsi lebih menguasai pikiranku. Serba salah. Satu sisi aku mangagumi dirinya, namun disisi lain hatiku menolak keberadaannya. Masih terlintas bayangan ia mencengkramku dan melumat kasar bibirku. Memang itu bukan hal baru bagiku. Dulu aku pernah menikmati hal yang sama dengan mantan kekasihku. Bahkan lebih. Namun entah kenapa hatiku bergejolak saat ia yang melakukannya.

Kuseruput teh hijau hangat yang dihidangkan waiter barusan. Tatapanku beredar ke sekeliling restauran ini. Hamparan kebun cengkeh memanjakan penglihatanku. Gunung dan bukit menjulang tinggi dipayungi langit senja berwarna kemerahan. Sejuknya udara disini merilekskan pikiranku.

Seketika Pak Rico menggenggam tanganku. "Isna, aku mohon maaf atas kejadian kemarin. Aku tak bisa menahan perasaanku sendiri. Entah mengapa tubuhku merasa butuh kamu. Aku tau ini salah, tapi aku tak bisa menyangkalnya. Aku... kurasa aku menyukaimu." Lidahku tercekat mendengar untaian kata yang keluar dari mulutnya barusan. Apa maksudnya? Dia menyukaiku? Dosenku?

"Apa bapak tidak salah? Kita baru bertemu dua kali dan bapak bilang menyukaiku? Bapak gausah mengada-ada. Saya cuma mahasiswi bapak. Tak ada yang special." Yeah sebenarnya aku senang ia mengatakan itu padaku. Tapi lebih baik aku berfikir realistis. Tak ada yang spesial dari diriku. Aku hanya seorang mahasiswi. Ia bisa mendapatkan wanita yang lebih pantas dibanding diriku. Bayak dosen muda yang menyukainya bahkan mencuri-curi kesempatan untuk mendekatinya. Ia juga bisa mendapatkan wanita dewasa yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan yang bagus.

"Dua kali? Ya bagimu dua kali. Tapi bagiku sudah enam bulan aku mendekatimu, mecari tahu tentang dirimu, bahkan mengikutimu." Aku terkesiap dengan pernyataan itu. Pantas saja ia mengetahui semua tentangku. Nama lengkapku, jadwalku, ah bahkan waktu ia mengantarku pulang ia tak menanyakan alamatku!

"Sudah, kamu ga perlu menjawab apapun. Yang jelas aku sudah lega mengatakan ini semua padamu. Enam bulan teakhir ini kamu selalu mengusik pikiranku. Rasanya ingin selalu berada didekat kamu. Entah mengapa aku selalu merindukanmu."

Mr.Rico's POV

Aku sudah menumpahkan semua yang ada dipikiranku padanya. Ia nampak terkejut dengan semua yang kukatakan. Ya, bagi dia memang terlalu cepat. Tapi bagiku inilah saat yang tepat. Aku tak ingin membuang-buang waktuku lagi hanya untuk menguntitnya. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi sepertinya ia menyukaiku. Karna beberapa kali aku melihatnya mencuri pandang padaku. Bahkan ia sangat nyaman dipelukanku saat ini. Melihatnya yang mulai kedinginan aku memeluk dan membelai rambut coklat ikalnya. Ia hanya menggunakan kemeja satin kuning tipis dan rok span hitam pendek. Jadi wajar ia merasa kedinginan. Aku juga masih menggunakan kemeja merah dan celana hitamku. Tadi aku hanya sempat melepas dasiku dan menggulung lengan kemejaku. Nampaknya kita salah kostum. Yah namanya juga dadakan.

Kami melahap pisang goreng yang dilumuri gula bali khas Buleleng yang sudah mulai dingin karna tak tersentuh sedari tadi. Kemudian kami memesan makanan utama berupa sate ayam, soto ayam, dan pepes ikan. Sengaja kupilih makanan khas Indonesia ini, karna suasana seperti ini sangat lezat apabila kita memakan makanan hangat dan sedikit berbumbu.
Air muka Isna sudah mulai berubah kembali ceria. Terlihat dari nafsu makannya yang besar dan bersemangat. Sepertinya beberapa hari ini ia tak bisa menikmati makanannya dengan baik. Yah mungkin ini semua karna aku. Tapi kali ini aku ingin mebuatnya tersenyum kembali.

Langit merah kini berubah menjadi gelap. Semilir angin malam sudah mulai menerpa kami. Tak terasa hampir dua jam kami menikmati kebersamaan di resto ini. Kami berada jauh dari rumah, jadi mau tidak mau kami harus bermalam disini.
Masih di desa Munduk, kami memilih bermalam di Sanak Retreat Bali. Kami memesan two bedroom bungallow. Sebelumnya kami membeli beberapa potong pakaian di sebuah artshop dekat sini.

Aku menyeruput pelan kopi Banyuatis yang tersedia di living room bungallow kami. Aromanya sangat kuat dan nikmat.
Kulirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 11.24. Aku tak bisa tidur malam ini. Suara jangkrik memecah kesunyian malam. Kutekan tombol send diponselku setelah aku mengirim pesan kepada sekretarisku bahwa aku tidak masuk besok karna sakit. Tak lupa aku menyuruhnya menyimpan barang-barang pribadi yang kutinggalkan diruanganku kemarin. Aku ingin menghabiskan hari bersama Isna besok. Aku tak perlu khawatir tentang kuliahnya karna besok tidak ada jadwal ujian.

"Kok belum tidur pak?" Isna menuruni tangga. Ia tampak anggun dengan balutan long dress putih bercorak bunga merah dibagian bawahnya. Kali ini dia mirip dekali dengan Citra. Ya Tuhan, kali ini aku tak bisa membedakan mana Isna, mana Citra!

"Eh, Isna. Iya nih belum ngantuk. Eh iya mau kopi? Ini enak banget. Kamu mesti coba." Isna duduk disebelahku. "Boleh cicip?" Aku mengangguk. Ia mulai menyesap kopi buatanku. "Iya pak, enak. Tapi ga deh. Besok ajah. Kalo minum sekarang takut tambah gak bisa tidur. Hmm... ngomong-ngomong enak banget ya suasana disini. Emang sih kampung aku ga jauh dari sini. Tapi belum pernah aku dengan sengaja liburan disekitar sini. Ternyata nyaman dan tenang suasananya." Ia bersandar di sofa yang kami duduki. Wangi rambutnya membuat darahku berdesir.

"Hmm soal tadi maaf kalau aku membuat kamu ga nyaman." Aku menatap mata indahnya kini.

"Udahlah pak, jangan minta maaf terus. Capek dengernya. Itu hak bapak mau suka atau ga sama saya. Tapi honestly saya juga menyukai bapak. Entah mengapa aku ngerasa nyaman ada didekatnya bapak." Isna merebahkan kepalanya dipundakku. Bagai gayung bersambut aku sangat senang mendengar bahwa ia menyukaiku juga. Aku mulai membelai lembut rambutnya. "Jangan panggil pak donk. Saya kan gak tua-tua amat." Isna tersenyum. "Terus panggilnya apa? Papa, kek, om, uwa, abah, aki? Hmm om aja deh. Lucuu. Hihihi" Aku mencubit pipinya dengan gemas. "Dih enak aja. Panggil aku apa kek, sayang, bebeb, honey." Aku mengecup keningnya.
"Hmm... honey kayaknya bagus."
"Oke deh. Panggil aku honey ya sweetie."
"Dih sok imut banget aku dipanggi sweetie. Hmm.. tapi lucu juga sih."
"Terus..terus.. kita jadian nih? Mau pacaran sama om-om?" Wajah Isna seketika memerah.
"I Love You Oom...." Isna melingkarkan tangannya di leherku.
Tanganku kini berada di pinggangnya. Aku mulai mengecup bibir kecilnya. Ia memejamkan matanya. Kecupan kecilku lama kelamaan berubah menjadi kuluman dan hisapan. Bagai drakula yang haus darah aku menikmati bibirnya yang indah. Aku merasakan kembali kemesraanku bersama Citra dulu. Citra, oh Citra... Kau kembali mengisi hatiku.

I Love You Oom !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang