My Parents

22.6K 1K 9
                                    


Libur pergantian semester sudah berakhir. Besok aku sudah memulai kuliah perdanaku di semester enam. Aku juga harus mulai memikirkan skripsiku di semester ini. Kesibukanku semakin padat menjelang semester tua seperti ini. Kebetulan di semester ini aku hanya ada di kelasnya setiap hari selasa pada mata kuliah audit II. Aku membayangkan bagaimana kini aku berhadapan lagi sebagai muridnya. Ya dulu mungkin aku biasa saja. Tapi sekarang? Hmm sepertinya akan lucu sekali.
Kusiapkan buku dan juga pakaian yang akan kukenakan besok. Hmm pakai apa ya? Kubuka pintu lemariku dan mataku beredar ditumpukan pakaian yang tertata rapi. Aku mencoba memadu padankan pakaianku. Setelah beberapa menit aku memilih, akhirnya aku menjatuhkan pilihan ke sebuah cardigan brukat berwarna biru navy, kemudian kupadukan dengan tanktop berwarna senada didalamnya dan sky blue skinny jeans. Kusiapkan sling bag dan jelly shoes dengan warna navy blue juga. Yeah aku biasa mempersiapkan semua sehari sebelum perkuliahan. karena anti bagiku memilih pakaian yang asal-asalan.
Tok tok tok.... "Mba Isna, ada Pak Rico nunggu di depan..." Bi Nyoman mengetuk pintuku. Aku beranjak menuju ruang tamu. "Hey honey... kok ga ngabarin kesini? darimana kamu sayaang?" Ia terlihat santai dengan baju kaos biru polos dan celana pendek. "Nih buat kamu. tadi aku mampir beliin kamu dim sum. Aku tadi habis service mobil di bengkel. Kamu udah makan?"
"Beloom honey. Pas banget nih lg laper. km udah makan? Kita makan bareng yuk. Tadi juga aku masak udang bumbu merah. Kamu mesti coba!" Aku menariknya menuju meja makan.
"Sweetie kita makan diteras yok. Biar suasananya seger. Kan bunga-bunga kamu lagi banyak yang mekar."
Kami menggotong beberapa piring menuju teras depan dan menikmati makan siang bersama.

Tiba-tiba sebuah taxi berhenti didepan pagar. Kulihat dari kejauhan supir taksi itu menuruni beberapa koper. Degg! Jantungku serasa mencelos saat kulihat kedua orang tuaku datang secara tiba-tiba. Aku menghentikan makanku dan menghampiri mereka. M..m..mama k..kok ga bilang-bilang pulang? Aku memeluk mama papaku.
" Yee mama pulang kok bukannya disambut malah tanya-tanya? Ini bantuin angkat koper mama!" Aku berjalan dibelakang orang tuaku.
"Eh siapa ini? Maaf Bapak mau cari saya?" Papaku menghampiri Rico.
"Ehm maaf pak, perkenalkan saya Rico, temannya Isna." Rico menjabat tangan papaku. Papa melirikku tajam dan penuh tanya.
"Ooh... saya Artha, papanya Isna, dan ini Ratna, mamanya Isna. Kami baru saja datang dari New York. Ayo silakan masuk. Kita bincang-bincang didalam. Ga enak diliat tetangga Isna dengan laki-laki seusia kamu berduaan diluar." Kalimat yang dikeluarkan papa sangat menusuk. Haduh.. apa ya yang ada di benak Rico sekarang? Pasti ia sakit hati.

"Coba jelasin ke mama siapa laki-laki itu dan kenapa dia bisa berduaan sama kamu diteras?" Mama mulai menarikku ke dapur.
"D...dia Rico mah... dosen aku." Mata mama membulat terlihat keterkejutan di raut wajahnya.
"Ada hubungan apa kamu sama dosen kamu. Kamu ga liat dia jauh lebih tua dari kamu. jangan-jangan.. ohh...." Mama menutup mulutnya, aku takut-takut menjawab pertanyaan mamaku.
"Iya mah, dia pacar aku." Aku tertunduk takut. Tak berani aku menatap matanya.
"Haduuh Isna.... kamu cantik, cerdas, modis... masih banyak pria sebaya kamu yang bisa kamu jadiin pacar. Kenapa mesti dosen kamu sihh?" Mama terduduk sambil memijat pelipisnya.
"Ya aku suka sama dia ma.." Hanya itu kata-kata pembelaan yang keluar dari bibirku.
"Yah, ini salah mama terlalu lama meninggalkan kamu disini. Harusnya kamu ikut ke New York bersama mama."
Aku hanya mematung didepan mama. Mama dan aku sama terkejutnya melihat situasi ini. Ya Tuhan... apa yang harus kulakukan.. Orang tuaku pasti tak akan setuju dengan hubungan kami.

Rico's POV

Aku kaget dengan kehadiran orang tuanya secara tiba-tiba. Walaupun sejak awal aku berkata siap dengan situasi ini, nyatanya ini benar-benar membuatku gugup. Apalagi mendengar kata-kata dari papanya tadi. Kalimat itu menghujam jantungku. Seakan aku tidak pantas bersanding dengannya. Kini aku berada diruang tamu berdua dengan papanya Isna. Sepertinya ia tak menyukai kehadiranku disini.

"Silakan duduk." Raut mukanya datar.
"Saya bingung mau panggil kamu siapa. Sepertinya usia kita cuma beda sepuluh tahun. Kamu seumuran dengan Pakdenya Isna."
"Panggil saja saya Rico pak." Jawabku sopan.
"Oke Rico, to the point saja. Saya mau menanyakan ada hubungan apa antara Rico dengan Isna? Saya rasa kamu memiliki hubungan dekat dengan anak saya. Itu sebabnya kamu berada disini bukan?" Pertanyaan itu seakan menginterogasiku.

"Saya menyukai anak bapak. Dan kami sedang menjalani sebuah hubungan."

"Darimana kamu mengenal anak saya?"

"Saya dosen yang mengajar dikampusnya pak." Kulihat ekspresi kaget diwajahnya, kemudian rahangnya mulai mengeras.

"Sebagai seorang pendidik seharusnya kamu tahu yang namanya etika. Apa wajar seorang pengajar jatuh cinta pada muridnya sendiri? Hmm... dan sepertinya kamu sudah pernah menikah. Kemana keluargamu? Kenapa kamu justru mendekati anak saya?" Rentetan kalimat tersebut membuatku perih. Namun apapun yang terjadi ak harus siap menerimanya. Dari awal aku sudah tahu resiko mendekati gadis seusia Isna.

"Ya saya mengerti maksud bapak. Wajar bapak khawatir saya mendekati anak bapak. Ya. bapak benar sebelumnya saya pernah menikah. Namun saya bukanlah lelaki yang tak bertanggung jawab terhadap keluarga. Saya memiliki istri yang sempurna dan seorang gadis mungil yang lucu. Hidup saya sangat bahagia saat itu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Saat dalam perjalanan menjemput saya di bandara, istri, anak, beserta orang tua saya mengalami kecelakaan tragis dan mereka semua meninggal ditempat. Kejadian itu terjadi tiga tahun yang lalu.
Kemudian sejak enam bulan yang lalu saya mengenal Isna. Ia anak yang cantik, manis dan cerdas. Saya juga tidak habis pikir mengapa saya bisa jatuh hati padanya. Namun saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri dan setelah saya ungkapkan ternyata cinta saya tidak bertepuk sebelah tangan." Kini ia mengeluarkan ekspresi yang tidak dapat kumengerti.
"Saya sadar kami sedang berada di satu lingkungan formal. Kami sepakat untuk merahasiakannya. Jadi tak ada seorangpun yang mengetahui hubungan kami. Saya akan menjaga ini sampai Isna menyelesaikan kuliahnya."

"Sepandai-pandainya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga." Ucapnya dengan datar kemudian meninggalkanku sendiri tanpa komentar apapun.

Aku hanya mematung sendirian disini. Aku tak bisa menerka apa yang ada dipikiran Pak Artha. Ia sangat dingin. Ekspresinya sangat sulit diartikan. Nada bicaranyapun datar, tak bisa ditebak ia marah tau tidak.
"Maaf atas perilaku papaku barusan. Ia berkata apa padamu?" Aku hanya menggeleng. Ia tak berkomentar apa-apa. Hanya mengajukan sedikit pertanyaan yang menyisakan seribu pertanyaan lagi dibenakku.
"Sebaiknya aku pulang." Isna mengangguk kemudian mengantarku sampai kedepan. Ia hanya diam. Aku tahu ia juga sama bingungnya denganku.
"Temui aku dikampus besok. Sepertinya kita butuh bicara." Aku melambaikan tanganku dan akhirnya melaju menjauh dari rumahnya.

I Love You Oom !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang