Part eight

58 5 0
                                    

*brrrrtttt
*brrrrtttt
*brrrrrttttt

Sedari tadi ponsel ku berdering, tapi kuhiraukan. Aku ingin menikmati satu hari ini tanpa penganggu. Hanya aku dan minuman diatas meja ini. Aku bahkan tak tahu siapa yang menelpon atau mengirimi pesan, aku sangat sibuk dengan minuman kesayangan ku.

   "Kau yakin menikah dengannya...??"

"Maksudmu apa...??"

"Ehm...dia itu gay..."

Sial, mengingat apa yang di katakan Emily tadi pagi aku jadi tak nafsu meneguk minuman ini. Kenapa sih, harus sekarang? Kenapa tidak nanti setelah kita menikah atau sebelum aku benar-benar mengharapkannya.

"Benarkah dia gay...??benarkah selama ini dia hanya mempermainkan ku...??" Batinku.

Sore akan tenggelam bersama tenggelamnya sang mentari, tapi aku tetap tak mau minggat dari kafe ini. Aku ingin terus berada disini, aku bahkan akan mengusir dan memarahi orang yang ingin mengajakku pergi dari sini. Aku benci, aku benci hidupku. Tidak bisakah aku bahagia? Aku sudah terlalu sakit ketika Mengetahui Bagas menikah dan sekarang aku harus mendapatkan kesakitan yang teramat sakit seperti ini.

"Ternyata kau disini....!!!"
Kudengar seseorang berbicara padaku dari arah belakang, aku tak berbalik. Seperti janjiku tadi, aku tak akan kemana-mana.

"Aku sedari tadi menelpon mu...."

"Bagas...???" Aku terperangah saat mendapati Bagas dengan wajah kesalnya berbicara didepanku, padaku.

"Kemana saja kau? Ku tanya Emily dia tak tahu....kenapa kau begini...??"

Aku tak bisa marah atau membantah saat Bagas membopongku keluar kafe, bahkan dia membayar semua minuman yang ku pesan . Aku benci....

"Kau tahu, aku sangat mencemaskanmu. Seharusnya kau mengangkat panggilanku...."

Aku hanya diam saja, membiarkan dia mengatakan apapun yang dia inginkan. Aku tak mau membantah apapun yang dia ucapkan. Seperti yang ku katakan jauh sebelumnya, aku tak pernah bisa marah pada Bagas. Lagipula, apa salahnya? Dia selalu baik padaku.

Aku mendengar apa yang dia katakan dengan jelas, walau kini diriku serabutan. Di bopongnya masuk kedalam mobil miliknya sambil menyeloteh dan mengomentari hidupku.

"Aku tak yakin akan membawa mu pulang...." Ungkapnya, saat berhasil mendudukkan ku di jok depan.

"Kau tahu, tak ada yang harus disesali dari keputusanmu. Memilih nikah dengannya bukanlah sebuah kesalahan..." Katanya, dia mulai mengendarai mobilnya menjauhi kafe tempatku menghabiskan uangnya.

Sepertinya Bagas tahu tentang Ray, aku juga tak mengerti apakah dia tahu hal tersebut secara rinci atau mendengarkan perkataan Emily yang selalu tak jelas.

"Maksudmu...??" Tanyaku, sambil memegangi kepalaku yang mulai terasa sakit.

"Aku yang memberitahu tentang Ray pada Emily...." Ucap Bagas. Membuatku membelalakkan mata. Kulihati dia dengan intens, namun dia tak mempedulikan hal itu Bagas masih asik memperhatikan jalanan tanpa ada raut bersalah disana.

"Istri ku yang mengatakannya, aku tak mau mengatakannya karena takut merusak kebahagianmu. Tapi....tak sengaja ku katakan pada Emily waktu itu. Dia sangat terkejut begitu juga denganku...."

Aku hanya diam, tak tahu apa yang harus aku katakan. Apakah aku harus memarahinya, menghinanya, memakinya, ah....tak ada gunanya.

Aku menarik nafas panjang, kualihkan pandanganku pada jalanan yang lumayan macet karena sekarang sudah sore, hampir senja.

"Maafkan aku...." Kata Bagas. Mobil yang dia kendarai berhenti, karena lalu lintas memang sangat padat sore ini.

The wrong manTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang