Dia Ditakdirkan Untukmu

1K 54 30
                                    

Surat Undangan Pernikahan.

Aku membaca nama yang tertera di surat undangan itu. Sepasang nama itu terukir indah dengan tinta emas di atasnya. Entah mengapa tiba-tiba tak bisa kutahan tangis ini. Air mata ini menetes begitu saja membanjiri pipi, membasahi kerudungku. Dadaku sesak, tak tahu apa yang bergejolak. Senang? Sedih? Hatiku menggerus-gerus. Harus bagaimana aku saat ini, Reza?

Ya, Reza, dia sahabatku.

Masih kuingat ketika kami SD dulu. Dia selalu membelaku dari anak-anak cowok usil yang sering menggangguku. Kalau kamu menangis, mereka tambah senang menjahilimu. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu terus berbekas meninggalkan semangat dalam diriku hingga saat ini.

Masa-masa SMP, kami berpisah sekolah. Meski begitu, persahabatan kami tetap terjalin kuat. Ia masih sering main ke rumahku dan membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Aku mengakui bahwa Reza adalah anak yang cerdas. Selalu peringkat satu di kelas. Tak ayal banyak yang suka padanya, apalagi ia adalah sosok yang tampan dan berbakat jadi pemimpin yang tegas. Walaupun begitu, ia juga cowok yang humoris yang pandai membuat orang-orang di sekitarnya senang. Ya, jujur aku memang mengagumi sosok Reza. Aku suka padanya.

"Ra, kamu itu lebih cantik kalau pakai jilbab," ucap Reza ketika kami sedang bercengkrama bersama teman-teman remaja karang taruna. Saat itu aku hanya diam memendam senyum di hati. Apakah Reza juga suka padaku? Timbul tanya pada diriku.

Ketika memasuki tahap pendidikan selanjutnya di SMA, aku memutuskan untuk berhijab. Tekadku bulat. Aku ingin menjadi wanita yang lebih baik. Aku ingin menjadi muslimah yang taat. Aku ingin Reza bangga padaku. Ah tidak, apa yang kupikirkan. Tak semestinya aku berniatkan ini karena manusia. Aku hanya ingin melaksanakan perintah Allah, itu yang harus kuhujamkan dalam hati.

Tak kuduga aku kembali satu sekolah dengan Reza. Bukan main girangnya hatiku. Aku tak membayangkan kami bisa bertemu setiap hari lagi, sama seperti saat kami SD dulu. Kesenangan itu makin memuncak ketika aku tahu kami duduk di kelas yang sama. Ah, apakah ini yang namanya takdir? Apakah kami berjodoh? Pertanyaan-pertanyaan macam itu terus berulang-ulang tatkala aku memandangnya dari kejauhan. Seringkali aku melirik dan mencuri pandang ke arahnya. Masa-masa itu adalah masa yang paling mendebarkan di usia remajaku. Rasa ini terus tumbuh dan tumbuh seiring waktu berjalan. Sampai saatnya kami kelas dua, dan kami berpisah kembali dengan kelas yang tak sama.

"Yah, sayang ya Ra, kita gak satu kelas lagi," kata Reza saat sedang bersama orangtua kami mengambil raport di penghujung kenaikan kelas. Seperti biasanya, aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Aku tidak mau menunjukkan kesedihanku padanya. Ia harus tahu bahwa aku yang sekarang bukan Rara yang cengeng seperti dulu.

Reza pun semakin populer di sekolah. Kecerdasan dan kepiawaiannya dalam berorganisasi menjadikan dirinya sebagai dambaan semua gadis di sekolah itu. Sedangkan aku, aku hanya sosok yang diam-diam mengaguminya. Aku seperti bayangan senja. Bayangan yang tercipta dari mentari yang memancarkan keindahan dan kehangatannya.

Di sekolah, aku bergabung dengan ekstrakulikuler ROHIS, yang mana Reza pun ada di dalamnya. Tak ada hasratku untuk ikut-ikutan dengan alasan Reza yang juga memilih ROHIS sebagai ekskul-nya. Aku hanya ingin menjadi lebih baik. Aku cuma ingin mendalami agamaku. Itu saja. Ah, tapi benarkah? Benarkah itikadku semurni itu? Keraguan kadang timbul menyelimuti benakku.

Sejalan dengan kenaikan kelas, tentulah ada pergantian kepengurusan semua organisasi dan ekskul di sekolah. Tak terkecuali ROHIS. Dan akhirnya Reza pun muncul sebagai Ketua ROHIS yang baru. Aku turut bangga padanya. Ia pantas untuk mendapatkan jabatan itu.

Hari-hariku kian diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menambah ilmu agama. Aku merasa tak salah pilih. Aku dikelilingi orang-orang yang hatinya bertaut dalam persaudaraan ilahi. Perasaanku penuh dengan rasa syukur pada Allah yang telah menuntunku untuk bisa bersama mereka. Tawa, canda, sibuk, sedih, haru, semua berbaur dalam kenangan indahku bersama mereka di ROHIS. Ya, tentu bersama dengan Reza juga yang makin memancarkan kharisma-nya. Aku bahagia, sangat bahagia.

Namun...

Semuanya berubah ketika aku menerima satu SMS dari Reza.

"Rara, ana uhibbuki fillah."

Astaghfirullah! Seketika titik-titik air muncul di sudut mataku. Mendung. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak tahu apa yang saat ini meluap di lubuk batinku. Senang? Takut? Sedih? Apa? Apa ekspesiku saat ini? Apa yang harus aku perbuat?

Apa pantas seorang ketua ROHIS mengatakan hal itu padahal setiap hari ia memotivasi teman-temannya untuk tidak mendekati zina bahkan zina hati yang terkecil sekalipun?

Lalu kuputuskan untuk tak membalasnya meski dada ini terus saja membisikkan kata-kata cinta untuknya. Tak ingin aku melukai perasaannya. Kutuliskan jawabannya hanya dalam hati. Reza, sebenarnya aku pun mencintaimu. Tapi ini belum saatnya. Kita masih harus saling memperbaiki diri, saling memantaskan dalam cinta-Nya. Tunggu saat itu, Za.

Sejak saat itu, aku tak pernah berani menatap matanya. Bahkan ketika kami akan berpapasan di jalan, aku usahakan agar aku menghindarinya dengan mengambil arah yang lain. Entah mengapa, aku terlalu takut. Aku takut sosok sempurna Reza yang selama ini menghiasi diary dan mimpi-mimpiku, berubah menjadi sosok cowok yang sama saja dengan yang kulihat di sekitarku. Menebar kata gombal, penuh hasrat bejat dan nafsu duniawi.

Sampai kami berdua lulus SMA, kami tak pernah bicara lagi satu sama lain. Padahal seringkali ia mengirimiku SMS, hanya sekedar bertanya kabar atau hal-hal lain terkait diriku. Namun aku tak pernah membalasnya.

"Apa kamu masih marah padaku, Ra?" tanya Reza sekali dalam SMS.

Ingin kujawab tidak. Tapi jari-jariku tetap tak mau bergerak. Aku takut, sungguh.

"Maafkan aku jika aku pernah lancang berkata seperti itu. Aku hanya ingin menyatakan apa yang ada di dalam perasaanku, Ra. Aku tahu, tak sepantasnya aku mengirim kata-kata seperti itu. Maafkan aku, Ra. Maaf."

Itulah SMS terakhir yang ia kirimkan padaku.

Tak tahukah kamu perasaanku Za? Aku hanya ingin kamu mengatakannya lagi, sekali lagi, di saat yang tepat, di saat kamu datang menemui kedua orangtuaku untuk melamarku.

Hanya itu Za, sesungguhnya itu yang aku harapkan sejak dulu.

Tetapi kenyataannya setelah lima tahun berlalu...

Kini kedua tanganku memegang sebuah surat undangan pernikahan yang tertulis di atasnya nama Reza dan salah satu sahabat terbaikku sesama anggota ROHIS di SMA dulu, Fitri.

Hatiku. Tangisku. Pecah.

"Tak perlu kau ragu...

Dia memilihmu 'tuk menjadi teman hidup setia s'lamanya...

Mestinya ku yang malu...

T'lah berminat padanya yang t'lah ditakdirkan 'tuk menjadi pendamping hidupmu...

Dan berlayarlah kau merenda keluarga...

Meretas hidup bersama...

Aku bahagia kau dipertemukan belahan jiwamu...

Tak 'kan ada yang berubah antara kita...

Kau tetap teman terbaikku...

Jangan menangis, dia ditakdirkan untukmu, bukan untukku..."

Karya: fachreku

*Tribute to: ~Edcoustic - Dia Ditakdirkan Untukmu~

**catatan: sangat disarankan untuk mendengarkan lagu tersebut setelah membaca ini




InterGen - Antologi RomansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang